Judul : Cakra Punarbhawa
Pengarang : Wayan Sunarta
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, 2005
Tebal : ix + 146 halaman
“Kau beri aku kembara tanpa dengan kekal. Aku ulang alik, berpindah dari satu tubuh ke lain tubuh. Seperti burung-burung yang diusir musim dingin. Pintu rahim siapa mesti kuketuk lagi, demi ruh yang tak henti mengembara. Aku letih menyusuri garis edarku sendiri. Aku bukan matahari, bukan bulan, bukan bumi. Aku noktah pada hamparan semesta-Mu. Bila aku mengakui ada-Mu, apa harus aku mempercayaimu?
Bila Kau titiskan aku lagi, beri aku sebilah kelewang berkilau dan kuda putih. Aku hanya sudi menjelma ketika usia bumi meratap tua. Itulah akhir titah-Mu, akhir kembaraku. Itulah saat aku mengukur umurku sendiri, mengumpulkan remah-remah karma.
Atau titiskan aku lagi 666 tahun kemudian, ketika bumi menjadi lapisan es. Aku akan menjelma ikan-ikan cahaya, yang menghuni lubuk paling kelam dari samudera membeku, dari jiwa paling kelabu. Dan Kau? Kau membeku dalam istana-Mu!”
Hidup selalu berakhir dengan kematian. Tapi kematian bukan akhir dari segalanya. Konon, setelah kematian masih ada kehidupan lagi. Terutama bagi penganut faham reinkarnasi, setelah kematian seseorang (mahluk hidup) masih bisa hidup kembali, menjelma pada sosok yang lain, yang disebut dengan reinkarnasi. Kadang seseorang malah bisa berulangkali hidup-mati dalam beragam penjelmaan, dalam kurun waktu tak terhingga.
Hal itu setidaknya tergambar dalam cerpen “Cakra Punarbhawa”, salah satu cerpen yang tergabung dalam buku kumpulan cerpen dengan tajuk yang sama, karya Wayan Sunarta. Cerpen tersebut berbicara tentang reinkarnasi, yang secara kronologis menceritakan kejadian-kejadian yang dialami tokoh dalam cerpen ini, yakni tokoh “aku”. Aku yang berulangkali lahir-hidup-mati, untuk menjalani karma (suratan takdir) dari-Nya di alam fana ini.
Sang aku yang “beruntung” karena berkali-kali hidup dalam kurun waktu yang sangat lama, yakni sejak zaman Majapahid (abad ke-14) hingga abad ke 21 (saat tragedi Bom Bali), tapi di lain sisi nasibnya “apes” karena selalu dihidupkan dalam karma yang “buruk” dan kurang menyenangkan. Tokoh aku selalu hidup menjadi pecundang, terpuruk, dan berada dalam kubangan lumpur kenistaan. Di satu waktu sang aku lahir menjadi penjudi, centeng pelabuhan, mucikari, gigolo; di lain waktu menjadi bromocoreh-begundal-sundal-bajingan. Kadang lahir sebagai anak nelayan, kadang menjadi anak pelacur, lalu menjadi anak buruh tani yang orang tuanya digorok dan dibantai karena kasus politik, bahkan kadang menjadi anak raja tapi tidak diakui.
Dan, ironisnya, sang aku tak pernah mampu melawan karma-takdir “apes”-nya itu. Ia hanya bisa pasrah menerima dan menjalani takdir bagai roda yang berputar di luar kehendaknya sendiri, tanpa bisa menolak apalagi melawan. Ia lelah. Lelah menghadapi karma buruk yang berkali mendera dan menjeratnya, sampai akhirnya ia hanya bisa mengeluh sambil melenguh dan berharap dengan memelas seperti yang terungkap pada bagian akhir cerpen yang dikutipkan di awal tadi.
Cerpen “Cakra Punarbhawa” boleh dibilang merupakan masterpiece-nya Wayan Sunarta dalam buku ini. Setelah dimuat di harian Kompas (Minggu), dan kemudian masuk Nominasi Cerpen Pilihan Kompas 2004, cerpen ini sempat menjadi bahan perbincangan (“kontroversi”) kalangan sastra. Sastrawan Yogyakarta, misalnya, menilai dan memberi perhargaan “Cakra Punarbhawa” sebagai Cerpen Terbaik Kompas” sebagai ‘keputusan tandingan’ atas penilaian para juri dari Kompas yang hanya memasukkan cerpen tersebut sebagai nominasi dalam seleksi cerpen tahunan Kompas.
Cerpen ini dinilai bagus dari segi isi maupun bahasanya. Cerpen ini konon adalah puisi panjang (10 halaman) yang kemudian diubah formatnya menjadi cerpen. Karenanya unsur puitiknya sangat kental.
Buku kumpulan cerpen pertama wayan Sunarta ini memuat 14 cerpen. Selain “Cakra Punarbhawa”, adalah cerpen “Menunggu Hening Malam”, “Penjaga Kamar Mayat”, “Birgit”, “Kembar Buncing”, “Kutukan”, “Jimat Tikus”, “Kematian Ayah”, “Puncak Ke Tujuh”, “Penggalan Kepala Patung”, “Laut Kelabu”, Ratih”, “Rumput Liar”, dan “Anjing dan Dendam”. Hampir semua cerpen yang tergabung dalam buku ini sudah pernah diumumkan di media masa mulai dari Kompas, Jurnal Cerpen Indonesia, Suara Merdeka, hinga Bali Post. Selain “Cakra Punarbhawa”, beberapa cerpen lain juga pernah memperoleh penghargaan, yakni “Puncak Ketujuh” (Masuk Nominasi “Anugerah sastra majalah Horison 2004″), dan “Kematian Ayah” (Masuk Nominasi “Lomba Penulisan Cerpen Nasional Depdikbud CWI Jakarta 2004″).
Tema cerpen-cerpen dalam buku ini cukup beragam, mulai dari masalah re-inkarnasi, konflik adat, hingga renungan eksistensi hidup, dan dilema kekerasan sosial. Cerpen “Kembar Buncing” (hal.11-22), misalnya menceritakan tentang sepasang suami-istri yang punya anak lahir kembar laki-perempuan (Kembar Buncing) yang mendapat sangsi adat di desanya yang (warganya) masih mempercayai bayi kembar buncing adalah aib dan karenanya harus diasingkan di tepi kuburan desa, akhirnya pasangan suami-istri tersebut memutuskan meninggalkan desanya untuk bermukim di kota demi “melawan” sangsi adat yang dinialinya tidak manusiawi tersebut. Lalu cerpen “Puncak Ketujuh” mengangkat tema eksistensi perjuangan hidup, dimana dikisahkan enam warga desa yang bertaruh nyawa untuk mencapai puncak gunung (puncak ketujuh) yang ternyata secara nyata puncak ke tujuh tersebut tidak ada (hal29-37).
Cerpen “Jimat Tikus” misalnya lagi, menggambarkan fenomena kehidupan di Indonesia yang manusianya gemar melakukan koruspi. Orang yang berusaha ingin memberantas korupsi pada akhirnya terjerembab dan menjadi koruptor pula (Hal.99-115). Cerpen “Kematian Ayah” (hal.91-98) lagi, menceritakan tentang tokoh “aku” yang selama ini setia menjaga dan merawat ayahnya yang menderita stroke, tapi pada akhirnya dianggap gila lalu diikat oleh kerabatnya, hanya lantaran menertawakan kerabat dan tetangganya yang pura-pura nangis dan berduka saat ayah sang aku itu meninggal, padahal saat sang ayah masih hidup (sakit di pembaringan) mereka tak pernah perduli bahkan menengok pun tidak.
Cerpen-cerpen dalam buku ini memang cukup beragam dan beberapa di antaranya idenya menarik. Hanya saja penggarapannya belum semuanya berhasil secara maksimal baik dari kelancaran berbahasa (cercerita/bertutur) dan juga upaya penggalian yang lebih dalam. Kadang malah nampak kurang utuh, bertele-tele, kedodoran dan hanya menarik pada bagian-bagian tertentu saja, dalam masing-masing cerpen. Hanya cerpen “Cakra Punarbhawa” yang menarik dan memikat baik dari cerita maupun bahasanya.
Sayang cerpen yang bagus seperti “Cakra Punarbhawa” hanya ada satu buah dalam buku ini. Seandainya ada beberapa buah lagi cerpen sekelas “Cakra Punarbhawa” maka ’sejarah’ buku ini (dan juga nasib Sunarta) bisa jadi akan menjadi “lain”.
Karenanya, sambil menunggu cerpen sekelas “Cakra Punarbhawa” yang lahir dari tangan Sunarta, buku yang sudah ada ini penting untuk dibaca dan dikoleksi oleh siapapun, terutama pecinta sastra. Karena bagaimanapun buku ini layak menghiasi kepustakaan kita.***
Sumber : Bali Post Minggu, 5 Juni 2005