Pengertian Tunadaksa dan Faktor Penyebab Tunadaksa

Pengertian Tunadaksa dan Faktor Penyebab Tunadaksa

Definisi Tunadaksa Menurut situs resmi Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. Tunadaksa berasal dari kata “tuna“ yang berarti rugi/kurang dan “daksa“ berarti tubuh. Dalam banyak literitur cacat tubuh atau kerusakan tubuh tidak terlepas dari pembahasan tentang kesehatan sehingga sering dijumpai judul “Physical and Health Impairments“ (kerusakan atau gangguan fisik dan kesehatan). Hal ini disebabkan karena seringkali terdapat gangguan kesehatan. Sebagai contoh, otak adalah pusat kontrol seluruh tubuh manusia. Apabila ada sesuatu yang salah pada otak (luka atau infeksi), dapat mengakibatkan sesuatu pada fisik/tubuh, pada emosi atau terhadap fungsi-fungsi mental, luka yang terjadi pada bagian otak baik sebelum, pada saat, maupun sesudah kelahiran, menyebabkan retardasi dari mental (tunagrahita).

Penyebab tunadaksa ada beberapa macam sebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada anak hingga menjadi tunadaksa. Kerusakan tersebut ada yang terletak dijaringan otak, jaringan sumsum tulang belakang, pada sistem musculus skeletal.

Adanya keragaman jenis tuna daksa dan masing-masing kerusakan timbulnya berbeda-beda. Dilihat dari saat terjadinya kerusakan otak dapat terjadi pada masa sebelum lahir, saat lahir, dan sesudah lahir.

1. Sebab-sebab sebelum lahir (Fase Prenatal), kerusakan terjadi pada saat bayi masih dalam kandungan, kerusakan disebabkan oleh:

  • Infeksi atau penyakit yang menyerang ketika ibu mengandung sehingga menyerang otak bayi yang sedang dikandungnya, misalnya infeksi, sypilis, rubela, dan typhus abdominolis.
  • Kelainan kandungan yang menyebabkan peredaran terganggu, tali pusat tertekan, sehingga merusak pembentukan syaraf-syaraf di dalam otak.
  • Bayi dalam kandungan terkena radiasi. Radiasi langsung mempengaruhi sistem syarat pusat sehingga struktur maupun fungsinya terganggu.
  • Ibu yang sedang mengandung mengalami trauma (kecelakaan) yang dapat mengakibatkan terganggunya pembentukan sistem syaraf pusat. Misalnya ibu jatuh dan perutnya membentur yang cukup keras dan secara kebetulan mengganggu kepala bayi maka dapat merusak sistem syaraf pusat.

2. Sebab-sebab pada saat kelahiran (fase natal, prenatal). Hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan otak bayi pada saat bayi dilahirkan antara lain:

  • Proses kelahiran yang terlalu lama karena tulang pinggang ibu kecil sehingga bayi mengalami kekurangan oksigen, kekurangan oksigen menyebabkan terganggunya sistem metabolisme dalam otak bayi, akibatnya jaringan syaraf pusat mengalami kerusakan.
  • Pemakaian alat bantu berupa tang ketika proses kelahiran yang mengalami kesulitan sehingga dapat merusak jaringan syaraf otak pada bayi.
  • Pemakaian anestasi yang melebihi ketentuan. Ibu yang melahirkan karena operasi dan menggunakan anestesi yang melebihi dosis dapat mempengaruhi sistem persyarafan otak bayi, sehingga otak mengalami kelainan struktur ataupun fungsinya.

3. Sebab-sebab setelah proses kelahiran (fase post natal). Fase setelah kelahiran adalah masa mulai bayi dilahirkan sampai masa perkembangan otak dianggap selesai, yaitu pada usia 5 tahun. Hal-hal yang dapat menyebabkan kecacatan setelah bayi lahir adalah:

  • Kecelakaan/trauma kepala, amputasi.
  • Infeksi penyakit yang menyerang otak.
  • Anoxia/hipoxia.

b. Karakteristik Anak Tunadaksa

Karakteristik anak tunadaksa mempengaruhi kemampuan penyesuaian diri dengan lingkungan, kecenderungan untuk bersifat pasif. Demikianlah pada halnya dengan tingkah laku anak tunadaksa sangat dipengaruhi oleh jenis dan derajat keturunannya.

Jenis kecacatan itu akan dapat menimbulkan perubahan tingkah laku sebagai kompensasi akan kekurangan atau kecacatan. Ditinjau dari aspek psikologis, anak tuna daksa cenderung merasa malu, rendah diri dan sensitif, memisahkan diri dari lingkungan.

Disamping karakteristik tersebut terdapat beberapa problema penyerta bagi anak tuna daksa antara lain:

1. Kelainan perkembangan/intelektual.

2. Gangguan pendengaran

3. Gangguan penglihatan

4. Gangguan taktik dan kinestetik

5. Gangguan persepsi

6. Gangguan emosi