Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i

Mazhab Syafi’i (bahasa Arab: شافعية , Syaf’iyah) adalah mazhab fiqih
yang dicetuskan oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi’i atau yang lebih
dikenal dengan nama Imam Syafi’i[1][2]. Mazhab ini kebanyakan dianut
para penduduk Mesir bawah, Arab Saudi bagian barat, Suriah, Indonesia,
Malaysia, Brunei, pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut, dan Bahrain.

Sejarah

Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam Syafi’i, yang hidup di zaman
pertentangan antara aliran Ahlul Hadits (cenderung berpegang pada teks
hadist) dan Ahlur Ra’yi (cenderung berpegang pada akal pikiran atau
ijtihad). Imam Syafi’i belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlul
Hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlur
Ra’yi yang juga murid Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i kemudian merumuskan
aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat dikatakan berada di antara
kedua kelompok tersebut. Imam Syafi’i menolak Istihsan dari Imam Abu
Hanifah maupun Mashalih Mursalah dari Imam Malik. Namun demikian Mazhab
Syafi’i menerima penggunaan qiyas secara lebih luas ketimbang Imam
Malik. Meskipun berbeda dari kedua aliran utama tersebut, keunggulan
Imam Syafi’i sebagai ulama fiqh, ushul fiqh, dan hadits di zamannya
membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut; dan kealimannya diakui
oleh berbagai ulama yang hidup sezaman dengannya

Dasar-dasar

Dasar-dasar Mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam kitab ushul fiqh
Ar-Risalah dan kitab fiqh al-Umm. Di dalam buku-buku tersebut Imam
Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh
merumuskan hukum far’iyyah (yang bersifat cabang). Dasar-dasar mazhab
yang pokok ialah berpegang pada hal-hal berikut.

1. Al-Quran, tafsir secara lahiriah, selama tidak ada yang menegaskan
bahwa yang dimaksud bukan arti lahiriahnya. Imam Syafi’i pertama sekali
selalu mencari alasannya dari Al-Qur’an dalam menetapkan hukum Islam.

2. Sunnah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak ditemukan
rujukan dari Al-Quran. Imam Syafi’i sangat kuat pembelaannya terhadap
sunnah sehingga dijuluki Nashir As-Sunnah (pembela Sunnah Nabi).

3. Ijma’ atau kesepakatan para Sahabat Nabi, yang tidak terdapat
perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Ijma’ yang diterima Imam Syafi’i
sebagai landasan hukum adalah ijma’ para sahabat, bukan kesepakatan
seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum; karena
menurutnya hal seperti ini tidak mungkin terjadi.

4. Qiyas yang dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam
ijma’ tidak juga ditemukan hukumnya. Akan tetapi Imam Syafi’i menolak
dasar istihsan dan istislah sebagai salah satu cara menetapkan hukum
Islam.

Qaul Qadim dan Qaul Jadid

Imam Syafi’i pada awalnya pernah tinggal menetap di Baghdad. Selama
tinggal di sana ia mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang biasa disebut
dengan istilah Qaul Qadim (“pendapat yang lama”).

Ketika kemudian pindah ke Mesir karena munculnya aliran Mu’tazilah yang
telah berhasil mempengaruhi kekhalifahan, ia melihat kenyataan dan
masalah yang berbeda dengan yang sebelumnya ditemui di Baghdad. Ia
kemudian mengeluarkan ijtihad-ijtihad baru yang berbeda, yang biasa
disebut dengan istilah Qaul Jadid (“pendapat yang baru”).

Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak semua qaul jadid menghapus qaul
qadim. Jika tidak ditegaskan penggantiannya dan terdapat kondisi yang
cocok, baik dengan qaul qadim ataupun dengan qaul jadid, maka dapat
digunakan salah satunya. Dengan demikian terdapat beberapa keadaan yang
memungkinkan kedua qaul tersebut dapat digunakan, dan keduanya tetap
dianggap berlaku oleh para pemegang Mazhab Syafi’i.

Penyebaran

Penyebar-luasan pemikiran Mazhab Syafi’i berbeda dengan Mazhab Hanafi
dan Mazhab Maliki[3], yang banyak dipengaruhi oleh kekuasaan
kekhalifahan. Pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi’i terutama
disebar-luaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Murid-murid utama
Imam Syafi’i di Mesir, yang menyebar-luaskan dan mengembangkan Mazhab
Syafi’i pada awalnya adalah:

  • Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 846)
  • Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 878)
  • Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 884)

Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal sebagai ulama hadits terkemuka dan
pendiri fiqh Mazhab Hambali, juga pernah belajar kepada Imam Syafi’i[4].
Selain itu, masih banyak ulama-ulama yang terkemudian yang mengikuti
dan turut menyebarkan Mazhab Syafi’i, antara lain:

  • Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari
  • Imam Bukhari
  • Imam Muslim
  • Imam Nasa’i
  • Imam Baihaqi
  • Imam Turmudzi
  • Imam Ibnu Majah
  • Imam Tabari
  • Imam Ibnu Hajar al-Asqalani
  • Imam Abu Daud
  • Imam Nawawi
  • Imam as-Suyuti
  • Imam Ibnu Katsir
  • Imam adz-Dzahabi
  • Imam al-Hakim

Peninggalan

Imam Syafi’i terkenal sebagai perumus pertama metodologi hukum Islam.
Ushul fiqh (atau metodologi hukum Islam), yang tidak dikenal pada masa
Nabi dan sahabat, baru lahir setelah Imam Syafi’i menulis Ar-Risalah.
Mazhab Syafi’i umumnya dianggap sebagai mazhab yang paling konservatif
di antara mazhab-mazhab fiqh Sunni lainnya. Dari mazhab ini berbagai
ilmu keislaman telah bersemi berkat dorongan metodologi hukum Islam yang
dikembangkan para pendukungnya.

Karena metodologinya yang sistematis dan tingginya tingkat ketelitian
yang dituntut oleh Mazhab Syafi’i, terdapat banyak sekali ulama dan
penguasa di dunia Islam yang menjadi pendukung setia mazhab ini. Di
antara mereka bahkan ada pula yang menjadi pakar terhadap keseluruhan
mazhab-mazhab Sunni di bidang mereka masing-masing. Saat ini, Mazhab
Syafi’i diperkirakan diikuti oleh 28% umat Islam sedunia, dan merupakan
mazhab terbesar kedua dalam hal jumlah pengikut setelah Mazhab Hanafi.