Kumpulan Cerpen Bertema Pendidikan
“Zita, ayo tidur sayaang. Sudah jam setengah sepuluhniih. Memangnya besok kamu tidak sekolah ? Ayo cepat tidur Zita” Mama menyuruhku tidur sambil berlalu ke kamarnya. “ Iya maa.” Ujarku yang sedang menonton sinetron kesukaanku. Aku matikan tivi dan naik tangga menuju kamarku.
Aku langsung naik ke kasurku untuk tidur. Karena aku sudah mulai mengantuk. Tapii. Kok aku nggak bisa tidur ya ? Seperti ada yang kurang. Oh iya ! Aku lupa menulis diary. Kebiasaanku setiap sebelum tidur adalah menulis diary. Tapi kenapa sekarang aku lupa ya ?
Aku langsung mengambil diaryku di lemari dan mulai menulisnya.
Dear Diary,
Hari ini, aku punya satu cerita yang mengaharukan tentang sepupuku sendiri.. Mas Galang namanya.
Pada tahun 1995, lahir 5 orang anak dari lima pasang suami istri. Ibu-ibu yang melahirkan berasal dari satu keluarga besar yang sama. Kakek dan Nenek sangat bahagia. Mereka langsung memiliki 5 cucu sekaligus di tahun itu. Galang, Dimaz, Agung, Rania dan aku. Mereka lahir normal dan sehat. Itu terjadi lima belas tahun yang lalu..
Di tahun ajaran ini, kami berlima seharusnya akan menjalani UAS-BN. Empat anak diantara kami telah bersiap-siap untuk melakukannya. Tapi satu anak lagi? Ia hanya bisa di rumah melakukan kegiatan yang tak menentu…
Ya, mas Galang namanya. Putra ketiga dari kakak ayahku yang tertua. Dia menderita autis. Mamaku masih suka bercerita bahwa pada tahun pertama, mas Galang terlihat sebagai anak yang paling sehat diantara kami. Tinggi besar, tampan, dan sangat aktif. Tapi makin lama, makin terlihat bahwa dia tidak memiliki kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi yang baik.
Saat ini, kondisinya sangat mengkhawatirkan. Karena masih belum dapat berkomunikasi dengan baik. Bahkan belum dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menunjukkan kemandiriannya. Jadi selama ini bude dan Pakdeku sangat memproteksi dirinya. Memang kasihan mas Galang, orang tuanya bukan orang yang berpunya. Bahkan….rumahnya di pinggir sekaligus di atas sungai. Rumah yang sungguh membahayakan untuk kondisi mas Galang yang seperti ini. Aku ingin menangis jika aku berkunjung ke rumahnya. Wilayahnya tidak layak dan rumahnya bukan seperti rumah melainkan gudang kecil.
Usaha-usaha orangtuanya sedikit membuahkan hasil. Ayahnya belum punya pekerjaan tetap. Hanya seorang perangkai dan penjual bunga yang tak selalu mendapat order untuk dikerjakan. Kakaknya masih kelas 11 sekarang. Mas Galang punya satu kakak lagi, yang sedang bekerja di Filipina. Dan ia satu-satunya tulang punggung di keluarga itu. Selain keadaan mas Galang yang mengkhawatirkan, ibunya lebih mengkhawatirkan. Bude Lina, jika kupanggil dirinya, terkena Thalasemia hingga saat ini. Uang mereka tak cukup untuk menyembuhkan Bude Lina dan melaksanakan terapi autis mas Galang sekaligus.
Anaknya tampan dan selalu ingin tahu. Kini, ia sudah mulai dapat sedikit berbicara walaupun belum mampu berfikir jelas. Mas Galang sudah tumbuh lebih tinggi dari aku, Dimaz, Agung,dan Rania. Tapi walaupun begitu, keadaan non fisiknya jauh tertinggal dari kami. Tidak pernah ada yang menduga, karena Mas Galang terlahir normal dan sama seperti kami semua.
Papaku bilang, dulu keluarga nenek tidak mampu. Sebagai kakak pertama, Bude Lina menjadi tulang punggung keluarga. Ia tak sekolah hingga S1. Langsung saja bekerja. Jadi, beliau sekolahkan adik-adiknya. Memang, seluruh keluarga besar kami saat ini telah turut membantu ekonomi keluarga bude, namun karena masing-masing memiliki tanggungan keluarga yang juga tidak sedikit, maka bantuan bagi mas Galang masihlah jauh dari kebutuhan. Menghidupi keluarga sehari-hari, membantu pengobatan mas Galang, dan bude Lina sekaligus.
Harapanku, mas Galang dapat sembuh dan dapat bermain dan belajar bersama kami, atau paling tidak, dia mampu membantu dirinya sendiri, sehinga dapat menjadi manusia yang mandiri, dan kelak tidak bergantung pada orang lain. Aku ingin sekali mas Galang dapat menjalani terapi yang Intensif, agar kondisi itu dapat terwujud. Dan aku ingin bude Lina berkurang beban hidupnya, sebagaimana yang selalu beliau rasakan selama ini….. Ini adalah Harapanku.
****
“Hoaam. Sudah pukul 22.30” ujarku sambil melongok ke jam weker yang diletakkan di samping tempat tidurku. “ Lama sekali ya aku menulis diary.” Kataku sambil menaruh kembali buku diaryku lalu naik ke kasur dan menarik selimut. “Hhh, semoga harapanku untuk mas Galang dapat terkabul Ya Allah” Aku pun memejamkan mataku setelah berdoa untuk mas Galang. Amiin.
Jodoh Sang Guru
(By: Fida Amatullah)
“Ciye… bapak” sorak anak-anak menyambut kedatangan Pak Arlin, guru matematika yang memasuki kelas.
“Memangnya kenapa?” Tanya Pak Arlin setelah meletakan tasnya di atas meja guru.
“Tadi Bu Nida lewat pak” lapor Erna.
“Eh, iya gitu” Pak Arlin langsung menoleh ke jendela di sebelah meja guru, membuat anak-anak semakin heboh.
“Eaa…” sahut anak-anak berbarengan. Pak Arlin hanya tersenyum, dan terlihat semburat merah di wajahnya.
“Ya, sekarang kalian duduk” pinta Pak Arlin.
“Kita udah duduk!!” jawab anak-anak serempak.
“Baik, saya ucapkan terima kasih karena kalian telah duduk rapih. Sekarang kita akan melanjutkan materi kita kemarin” Pak Arlin pun mengambil spidol dan mulai menjelaskan.
Yah, menurutku beginilah resiko jika Pak Arlin (Dan para bapak guru terhormat lainnya) mengajar di sekolah berasrama putri yang tentunya satu sekolah semuanya berstatus siswi-siswi (Ya iyalah.. kalau siswa mah beda lagi). Pasti bakal jadi ‘sasaran’ siswi-siswinya.
Apalagi, angkatan aku lagi masa-masanya ‘mengekspresikan diri’ dan di antara semua kelas 8, kelas ku lah yang paling ‘jago dan ngocol’ dalam hal ini. Bahkan protes dengan pak guru, kelas ku jagonya.
Sekarang balik lagi ke kelas. Ketika Pak Arlin memberI kami tugas. Tiba-tiba anak kelasku, Hera menyeletuk.
“Pak, kok bapak nggak melamar Bu Nida sih?” Tanyanya polos. Sekejap kelas menjadi heboh dengan pertanyaan.
“Sst..” Yulia, ketua kelas sekaligus anak BEM menaruh telunjuk di depan mulut. Kami pun terdiam, oh iya ini adalah rahasia kelas kami.
Ceritanya, dua hari yang lalu anak kelas kami sedang pusing gara-gara habis ujian fisika yang soalnya 30% sadis. Terus ketika pelajaran Matematika, kami mendesak Pak Arlin untuk ‘curhat’ ke kami anak kelas 8-6. Lumayanlah, cerita guru-guru bisa menghibur kami. Habis bayangkan sehabis fisika pelajaran matematika, gimana nggak stress tuh anak kelas?
Akhirnya Pak Arlin bercerita tentang latar belakangngya, keluarganya. Dan ternyata beliau ikut silat! Pantas saja badan beliau rada liat dan lincah begitu. Lho, gini-gini aku juga anak silat lho, ya.. walaupun baru tingkat paling dasar sih. Maklum baru tahun ini aku gabung. Sebenarnya mau dari SD, tapi nggak pernah jadi.
Dan Pak Arlin pun menceritakan tentang seorang akhwat (jiah..) yang beliau suka. Sebenarnya Pak Arlin Cuma sedikit cerita dan nggak mau menyebutkan nama akhwat yang merebut hati Pak Arlin. Hingga akhirnya kami main ‘tebak-tebakan’ dengan Pak Arlin dan dengan berat hati Pak Arlin menyebutkan huruf depannya. Dan kami berhasil menebak!
Aku dan anak kamarku yang satu kelas Rena dan Fira terkejut ketika mengetahui ternyata orangnya murobbi kami!
“Beliau murabbi kami Pak!” seru ku.
“Eh iya gitu?” Tanya Pak Arlin. Kami mengangguk.
“Wah, kalau begitu kalian jangan bilang ke orangnya ya” pinta Pak Arlin kepada kami. Aku, Rena, dan Fira meangguk.
“Kalian, tolong jangan bocorkan ini kepada siapa-siapa ya. Soalnya tahun depan bapak masih di sini yaa. Walaupun mungkin saja bapak mengajar di putra. Tapi bapak malu juga kalau true story bapak ketahuan” pinta Pak Arlin.
“Jiah, true story. Eh love story pak” Febi langsung membetulkan ucapannya.
“Terus kenapa bapak nggak melamar Bu Nida aja?” Tanya Nusaibah alias ibah.
“Bapak sudah mengutarakan ke murabbi bapak. Sekarang tinggal menunggu berita dari murabbi” jelas Pak Arlin. Kami mengangguk.
“Semangat pak!” kata kami. Pak Arlin mengangguk dan tersenyum.
-_-
“Semuanya rentangkan tangan” perintah Teh Aulia. Kami pun merentangkan tangan. Aula terasa luas karena hanya ada kami berdelapan plus Teh Aulia jadi bersembilan.
“Mulai pemanasan..” kami pun mulai pemanasan. Setelah itu kami latihan tendangan berpasangan, dan teh Aulia mengajarkan kami mensirkel yaitu memutar kaki membentuk lingkaran untuk m enjegal lawan. Saat lawan menendang lah paling tepat untuk menyarangkan tendangan sirkel. Kita pun berjongkok dan memutarkan kaki kita ke arah depan atau belakang terserah kita.
“Coba, kalian ambil matras di sebelah sana dan kalian latihan sendiri-sendiri” perintah teh Aulia menunjuk tumpukkan matras kecil di sudut. Kami mengambil satu-satu dan berlatih sendiri-sendiri.
Mau promosi nih. Teh Aulia itu pelatih kami, aku ingat pertama kali ekskul saat pramuka. Mendadak aku di panggil, sebenarnya ada delapan (awalnya) namun karena hanya aku satu-satunya anak kelas delapan sedangkan kelas tujuh belajar pramuka di tempat terpisah. Akhirnya aku kelimpungan mencari mereka, yaa… berusaha menjadi senior yang baiklah. Minggu sebelumnya aku mengumpulkan mereka, namun karena pelatihnya belum datang kami pun ngumpul-ngumpul saja.
Dari segi fisik udah nyangka sih kalau Teh Aulia orangnya lincah. Teh Aulia orangnya tingginya sedang tapi langsing. Dan ternyata… Teh Aulia pernah memenangkan medali emas di kejurnas dua kali! Aku lupa kapan dan tempatnya. Yang jelas teh Aulia keren deh.
Setelah berlatih sendiri-sendiri kami dites tendangan dan sirkel oleh Teh Aulia. Dan setelah itu kami istirahat sebentar.
“Teteh, kok bisa sih langsing?” Tanya ku. Maklum berat badanku kelihatan kelebihan nih.
“Ah, kamu udah keliatan ideal kok. Ngapain di kurusin lagi?” Teh Aulia balik bertanya.
“Yah, dikiit lagi” jawab ku.
“Teh, kapan nikah?” Tanya Ulya adik kelasku iseng.
“Yahh…may” jawab Teh Aulia.
“Iya teh??” mata kami membulat.
“Maybe..” jawabnya sambil nyengir. Dan kami pun manyun.
“Yahhh teteh..” jawab kami kecewa karena tidak mendapatkan jawaban yang pasti.
“Jodoh sih ada tapi..”
“Tapi di lauh mahfudz kann??” jawab kami serempak.
“He-eh, lagian kalau ada yang mau ngelamar teteh nggak boleh orang sembarangan” kata teh Aulia.
“Huuh, teteh pede euy!” sahut Tera tetangga kamarku. Oh iya, Tera dan Silvi ikut bergabung dengan kami sebulan yang lalu. Jadi kami ada bersepuluh.
“Iya dong, ntar yang jadi suami teteh harus siap menerima apa adanya. Dan tidak boleh melarang teteh untuk melanjutkan silat. Salah satu cita-cita teteh yaitu membentuk kader peremuan.Lagian di sini kan pelatih perempuan jarang. Di angkatan teteh yang awalnya ada 200 orang menyusut jadi bertiga” Teh Aulia pun bercerita tentang teman-temannya. Ada yang silatnya sudah bagus tapi tidak di perbolehkan oleh suami, ada yang diijinkan tapi sedang hamil jadi tidak bisa terlalu banyak bergerak. Dan lain-lain.
“Makanya, abah juga setuju sama teteh, karena jangan sampai nggak ada kader perempuan yang meneruskan silat ini atau menyebarkannya. Ya… kalau bapak teteh mah menyerahkan saja ke Teteh” jelas Teh Aulia.
“Abah siapa teh?” Tanya Silvi.
“Itu, pelatihnya Teh Aulia” jawab Jihan
“Teh, kalau dapat jodohnya di sini gimana?” Jihan angkat bicara. Dan teh Aulia hanya meangkat bahu.
“Pak Bima?”
“Pak Ahmad?”
“Pak Arlin?” dan semua nama-nama pak guru pun di sebut.
“Udah-udah, Pak Ahmad kan udah punya Bu Hana” sela Silvi.
“Eh, maksudnya gimana?” Tanya Teh Aulia.
“Tuh kan teteh, banyak lho guru-guru sini yang cinlok lalu nikah” ujar Farras.
“Sudah, jangan ngomongin hal itu terus, nggak bagus” tegur Teh Aulia.
“Kita lanjutkan latihan” TehAulia lalu bangkit kami pun mengikutinya. Dan kami melanjutkan latihan hingga ashar.
-_-
Aku berpikir tampaknya topic ‘cinlok guru’ menjadi pembicaraan tersendiri. Aku juga baru nemuin ini pertama kali di SMP. Siang ini, semilir angin membawa rambutku yang tidak tertutupi jilbab sedikt mengibar. Enak juga sih dapat kasur dekat jendela. Yaah, walaupun resikonya bisa di lihat bapak-bapak apalagi sama anak seberang (Ngertikan maksudnya??) di depanku terdapat selembar diary yang siap untuk ku isi.
Dear diary
Aku baru nemuin ‘cinlok’ guru di sini lho… di SD aku nggak nemuin nggak tahu deh kalau sekarang. Tapi kok ngeliatnya seru ya? Aku jadi heran sendiri. Tapi biar deh, anggap aja tontonan menarik (Aduh, kok parah beudh).
Aku pun menutup diary itu dan menyimpannya di eksel sebelah kasurku. Aku merasa ngantuk, aku terbaring dan perlahan aku tertidur.
-_-
“Bapak udah ngirim lamaran belum ke Bu Nida?” Tanya kami ketika pelajaran Pak Arlin. Tadi baru saja terjadi ulangan beruntun yaitu ulangan Biologi dan Bahasa Inggris( Sebel ma Pak Amir soalnya susah beudh). Dan anak-anak tersandar kelelahan. Namun Pak Arlin hanya menggeleng lemah.
“Sayangnya bapak terlambat. Dari Murabbi bapak di beri tahu kalau bunda tersebut sudah di lamar” tampang Pak Arlin terlihat sedih.
“Waah bapak sabar ya!!” seru kami kompak. Pak Arlin meangguk.
“Terima kasih, bapak sangat menghargai perhatian kalian. Doakan saja bapak semoga bisa mendapat yang lebih baik” jelas Pak Arlin di sambut koor ‘Amiin’ dari kami.
-_-
“Oi Trevi” aku dan Kayla yang habis belanja di mini market menoleh. Teh Aulia berajalan santai menghampiri kami.
“Ngapain teh?” Tanya ku. Kan latihan hari Jum’at.
“Kan mau sleksi buat POPDA Kabupaten” jawab Teh Aulia, sebuah Ipod menyembul dari balik jilbabnya.
“Hah, sekarang teh??” Tanya ku kaget.
“Iya, mau kapan lagi? POPDA tuh sebentar lagi tahu” jawab Teh Aulia berjalan. Kami mengikuti jalan Teh Aulia yang cepat.
Ketika kami berada di samping gedung sekolah. Terdapat beberapa guru yang berjalan sambil menenteng rantang. Yang aku tahu beberapa ada yang satu rumah.
Kami pun melewati gerombolan tersebut. Ketika sudah terlewati, Teh Aulia mendadak berhenti dan menoleh ke arah belakang. Aku dan Kayla ikut-ikutan berhenti.
“Kenapa teh?” tanyaku
“Ehm, nggak kok” Teh Aulia kembali berjalan. Aku dan Kayla pun mengikuti. Tak lama kami sampai di komplek asrama.
“Teh, aku ke kamar dulu. Mau siap-siap” pintaku.
“Ya sudah, ngumpul di lapangan” aku dan Kayla pun berlalu dan menaiki tangga menuju kamar. Di kamar ternyata sepi, mungkin yang lain sedang menyuci.
“Eh, Teh Aulia cantik ya?” komentar Kayla.
“Memangnya kenapa gitu?” Tanya ku. Aku memasukkan belanjaan ke tempat masing-masing.
“Soalnya pasti banyak yang suka” sahut Kayla iseng.
“Ah, ngaco kamu!” aku melepas jaketku dan tersisa baju lengan pendek. Aku pun memakai baju seragam silat.
“He..he… nggak tahu ding. Tapi kayaknya ada yang something tuh”
“Hah” aku menoleh kepada Kayla yang duduk di pinggir ranjangnya.
“Iya, cinlok pada pandangan pertama. first sight”
“Sebutin, siapa guru yang kamu maksud” aku duduk di samping Kayla.
“Eit rahasia, nggak boleh tahu” Kayla menggelengkan kepala main-main.
“Kayla please, Teh Aulia guruku juga. Jadi aku harus tahu siapa yang kamu maksudkan” seruku memaksa.
“Iya deh anak kesayangan” Kayla memalingkan muka.
“Apaan sih?” gerutuku.
“Terus, kalau kamu tahu gimana?” tanyanya. Aku berpikir sejenak.
“Aku nggak bakal bilang ke siapa-siapa. Lagi pula bisa aja itu kebetulan” aku berdiri.
“Cepetan, aku harus ngumpul nih. Mumpung kamar masih kosong” Kayla pun menoleh.
“Ya sudah, tapi jangan di sebarin. Ini Cuma dugaan ku aja” aku menghampiri Kayla. Kayla membisiki ku sesuatu.
“Ooh” aku berdiri dan langsung keluar. Tak ku pedulikan gerutuan Kayla.
-_-
Hari ini POPDA kabupaten dimulai. Aku sedang mengamati sebagian kecil anak silat yang lolos sleksi berlatih di luar. Namaku tidak masuk dalam list lolos sleksi. Walaupun pertandingan bukan hari libur, tapi aku diperbolehkan ikut, yaa. Hitung-hitung sebagai supporter.
Tapi aku merasa bosan, hingga aku memutuskan untuk jajan di lapangan futsal belakang GOR. Tidak masalah jauh, aku memang ingin jalan-jalan.
Aku berjalan sembari memandangi kesibukan pagi itu. Terlihat beberapa anak sekolah memakai seragam olahraga sedang berlari mengikuti gurunya. Aku juga melihat tim silat yang lain pemanasan di pinggir gor.
“Satu..dua..” aku menoleh, tampak segerombolan berlari melewatiku. Ada yang memakai baju biasa, ada juga yang memakai baju silat berwarna hitam tanpa sabuk. Aku menepi untuk memberi mereka jalan.
“Eh, kamu Trevi kan? Anak As-Salam kelas 8-4 ” aku menoleh. Ternyata Pak Arlin, beliau memakai baju silat berwarna hitam dengan sabuk berwarna hijau. Eh, tapi bukannya hari ini ada pelajaran matematika?
“Sendirian?” Tanya Pak Arlin yang awalnya berlari-lari kecil sekarang berjalan menjajari ku.
“Iya pak, kok bapak ada di sini sih? Bukannya hari ini 8-4 ada matematika?” Tanya ku.
“Sudah bapak kasih tugas lewat meja piket. Kamu sendiri kenapa ada di sini? Kamu kan harusnya sekolah?” Pak Arlin membalikkan pertanyaan. Aku menjawab dengan gelengan.
“Saya sama beberapa ikut jadi supporter, kebetulan ada teman-teman yang hari ini tanding. Bapak sendiri?” jawabku.
“Saya di suruh damping anak-anak silat A tanding. Wah, hebat dong anak as-salam ada yang ikut tanding. Pantas tadi saya melihat beberapa muka yang familiar, dan ada wali asrama Bu Farida yang mendampingi. Siapa Pelatihnya?” Tanya Pak Arlin.
“Banyak sih, tapi yang saya tahu cuma Teh Aulia”jawab ku.
“Arlin cepetan! Lama banget!” suara cempreng berbahasa Sunda mengagetkanku. Ternyata seorang perempuan dewasa memakai kaos berteriak memanggilnya.
“Bapak duluan ya” Pak Arlin langsung berlari menuju kerumunan tersebut. Sedangkan aku menuju jajanan pinggir jalan.
“Kak, itu bukannya Pak Arlin ya? ” Tanya Jihan sekembali membeli jajan.
“Iya, itu orangnya” Silvi menunjuk seseorang yang berdiri di belakang kerumunan.
“Widi ngapain?” tanyaku. Terlihat Widi sedang berlari kecil di pandu oleh Kak Erin.
“Suruh nurunin berat badan kak” jawab Jihan. Aku menghembuskan nafas.
“Vi, punya makanan nggak?” Tanya Tera menghampiri ku. Aku meangguk.
“Aku mau beli dong” pinta Tera.
“Kenapa?” tanyaku.
“Berat badan ku kurang nih. Di suruh makan” jawabnya. Aku mengeluarkan roti dari bungkusan plastic di tas dan mengangsurkannya pada Tera.
“Simpan saja buat nanti. Giliranmu masih lama kan?” Tanya ku.
“Makasih Tre! Uangnya ntar ya” Tera pun berlari ke tempatnya semula.
Pertandingan pun dimulai. Lawan saling disesuaikan berat badan, makanya berat badan dikelompokan secara abjad berdasarkan berat badan. Yang mendapat giliran pertama dari tim kami adalah Farras. Lawannya adalah seorang anak perempuan yang rambutnya di kepang. Dan berasal dari silat A.
Setelah menimbang berat badan. Farras menempati lingkar merah sedangkan anak itu lingkar biru. Masing-masing mendapat pengarahan. Pak Arlin ikut mengarahkan dengan perempuan bersuara cempreng tadi. Sedangkan Bu Farida dan A Imat berada di lingkar merah bersama dengan Farras.
“Wah pertandingan antar guru As-Salam pasti seru” desis Tera yang berada di sebelahku. Aku meangguk.
Di situ terdapat beberapa wasit, tiga orang wasit duduk di kursi yang tersebar. Dan seorang wasit lapangan berjalan ke tengah dan memanggil kedua peserta untuk pengarahan. Pertandingan di mulai di tandai dengan di bunyikan gong. Keduanya mulai beraksi dengan memainkan seninya. Setelah berhadapan dengan membentuk kuda-kuda. Mereka mulai beraksi.
Aku tidak menceritakan pertandingan tersebut secara detail. Yang jelas terdengar suara heboh supporter yang di seberang berbanding terbalik dengan tim kami yang terkesan adem ayem. Walau kami (anak as-salam) gondok juga dengan tim silat A habis berisik banget terkesan menganggu. Namun anak Al-Hikmah terlihat biasa saja.
Pertandingan berdurasi tiga menit itu berakhir. Farras terkapar kelelahan di samping A Imat dan Bu Farida. Setelah mengatur nafas sejenak. Wasit lapangan yang nota bene perempuan (Tapi Bukan Teh Aulia, sepertinya dari perguruan lain atau IPSI?). memanggil mereka berdua. Ketiga wasit yang duduk di kursi memegang kedua bendera. Oh iya, saat Farras mengatur nafas. Para wasit berkumpul di sebuah meja tempat beberapa wasit (Termasuk ketuanya) sembari mengumpulkan hasil penilaian masing-masing.
Farras dan anak itu berdiri di kanan dan kiri wasit perempuan. Dan kedua tangan wasit memasang pergelangan masing-masing.
“Dan yang lolos dalam babak ini adalah…” dan sang wasit mengangkat tangan.. anak itu. Keputusan itu di perkuat dengan para juri mengangkat bendera warna biru. Akhirnya Farras kalah.
Dari tim kami, 4 orang berhasil lolos menuju POPDA Provinsi. Dan dari sekolahku hanya Jihan yang berhasil lolos. Tim kami beristirahat di masjid dekat GOR.
“Wuah, capek!” Tera meregangkan tangannya, dia pun tiduran.
“Lihat aja, Farras sampai tidur beneran” Jihan menunjuk Farras yang tertidur. Aku bangkit.
“Mau kemana kak?” Tanya Jihan.
“Mau ambil udara segar” jawabku. Aku pun duduk-duduk di selasar masjid.
“Hei, boleh aku duduk di sebelah mu?” aku menoleh. Seorang anak perempuan yang kukenali dia tim silat A. aku meangguk, dia pun duduk.
“Tampaknya dari wajahmu kamu bukan asli sini ya?” tanyanya. Aku mengguk.
“Jadi rata-rata tim mu bukan orang sini?”tanyanya lagi.
“Ya Rata-rata, aku orang Bekasi, yang lain ada yang dari Jakarta,Pangkal pinang, Bandung, dan lain-lain. Kalau anak Al-Hikmah aku tidak tahu. Yaaa..kami beragam soalnya memang tim ini terdiri dari sekolah berasrama. Tapi ada juga kok anak sini” jelasku.
“Kalian anak Pesantren?” Tanyanya lgi.
“Sebenarnya anak sekolahku nggak bakal mau dibilang pesantren maunya di bilang boarding atau asrama. Tapi mau gimana lagi?” aku meangkat bahu.
“Oh iya kenalkan, aku Ratna. Kamu?” tanyanya.
“Trevi” jawabku.
“Wah, namamu keren juga. Oh iya, kamu nak mana?” Tanya Ratna.
“Aku anak As-salam” jawabku.
“Ya! Kamu kenal sama Pak Arlin nggak? Beliau katanya ngajar di situ, dan Pak Arlin itu pelatih di silat A” Tanya Ratna. Aku meangguk.
“Ya, aku kenal. Beliau ngajar Matematika, kenapa?” aku balik bertanya.
“Bisa dibilang sih, beliau paling alim dan paling baik di antara pelatih-pelatih yang lain. Juga paling cakep” kata Ratna sambil nyengir. Aku meangguk, memang sih. Kata orang-orang, Pak Arlin paling alim di rumahnya (Rumah bujang, soalnya belum nikah di situ biasanya ditinggali oleh beberapa orang. Klo Ibu guru selain wali asrama ada juga yaitu rumdis alias rumah gadis). Tapi kalau paling ganteng? Nggak tahu deh jangan nanya ke saya.
“Eh, di sekolahmu Pak Arlin diledekkin nggak? Maksudnya di jodoh-jodohin” dia berkata cepat sebelum aku menyelanya. Aku terdiam sebentar, lalu menggeleng.
“Rasanya tidak, lagi pula kalau memang ada kau pasti tidak kenal kan?”
“Iya-ya” dia pun meangguk.
“Gini, soalnya Pak Arlin itu satu-satunya pelatih yang belum nikah. Yang lain udah nikah bahkan udah punya anak. Teh Fera aja mau nikah bulan depan. Oh iya, kata Teh Ami Pak Arlin pernah suka sama atlit sini pas kejurnas” Ratna mulai bercerita. Aku mulai tertarik.
“Teh Ami adiknya Pak Arlin bukan?” tanyaku.
“Kok kamu tahu?” Ratna balik bertanya.
“Pak Arlin pernah cerita. Katanya ibunya Pak Arlin menikah lagi gara-gara bapak Pak Arlin meninggal gara-gara kecelakaan waktu masih kecil. Akhirnya lahir Teh Ami ” ceritaku.
“Yup betul! Terus Pak Arlin suka sama atlit itu tapi Pak Arlin kuliah di Surabaya. Terus dua tahun lalu Pak Arlin pulang terus ngelatih di sini tapi….”
“Eh, katamu Pak Arlin baru ngelatih setahun terakhir, ops maaf” aku menutup mulut menyadari aku telah menyela pembicaraan orang.
“Makanya dengerin dulu. Terus Pak Arlin ngelamar orang itu tapi ditolak sama bapak angkatnya. Alasannya sih masih kuliah, terus perempuannya belum siap dan masih focus sama pertandingannya juga anak-anak binaannya. Pak Arlin patah hati dan pergi ke Bandung, katanya sih ngajar. Dan tahun kemarin Pak Arlin balik lagi” Ratna mengakhiri ceritanya.
“Jadi begitu ceritanya” Aku meangguk.
“Ratna! Kemana aja kamu?” kami menoleh. Sesosok remaja berjilbab berjalan menghampiri kami.
“Maaf teh, lagian dari tadi aku duduk di sini. Teh, ini muridnya Pak Arlin di As-salam. Trevi, ini Teh Ami adiknya Pak Arlin” Ratna memperkenalkanku kepada temannya yang ternyata Teh Ami adik Pak Arlin.
“Hei,kamu muridnya Aa Arlin di As-salam ya? Kelas berapa?” tanyanya ramah.
“Aku kelas 8 , kakak kelas berapa?” Tanya ku.
“Ooh, aku kelas 10. Ratna juga kelas 8” jawab Teh Ami.
“Kak, aku cerita tentang orang yang disukai Pak Arlin. Yang Pak Arlin patah hati sampai lari ke Bandung” kata Ratna.
“Huss jangan fitnah deh! Lagian A Arlin nggak patah hati. Kebetulan A Arlin memang keterima ngajar di SMA sana. Terus pindah deh ke As-Salam” Teh Ami menutup ceritanya.
“Trevi!!” aku menoleh.
“Eh, aku duluan yah” aku pamit lalu bangkit.
“Trevi, punya nope nggak?” Tanya Ratna. Nope artinya nomor HP.
“AKu nggak punya” jawabku sambil menggeleng.
“Kalau FB?” tanyanya lagi.
“Punya kertas?” tanyaku.
“Nih, pakai HP aja” Ratna mengangsurkan HP. Aku mengetikkan sesuatu.
“Nih alamat e-mailnya udah ya” aku melambaikan tangan dan berlari menghampiri teman-teman.
-_-
Esoknya…..
“Anak-anak, kumpulkan tugas yang bapak berikan lewat meja piket kemarin” perintah Pak Arlin. Teman-teman mengumpulkan buku masing-masing, aku pun termasuk. Semalam aku bertanya pada Rena dan Fira.
“Kemarin aku ketemu Pak Arlin” kataku.
“Di mana?”Tanya Fira.
“Pas tanding POPDA kemarin” jawabku.
“Memangnya Pak Arlin ngapain?” sahut Yeni anak kamarku yang lain.
“Katanya Beliau damping tim silat” jawabku.
“Tim silat TS?” Tanya Fira. Maksudnya ekskul ku.
“Bukan, tim silat A. lawannya TS” jawabku.
“Wah, parah banget tuh. Bukannya ngedukung murid sendiri” kata Rena sambil menggelengkan kepala.
“Sudahlah, lagian Pak Arlin udah lama di situ. Terus aku juga ketemu sama adiknya Pak Arlin”
“Ooh, yang Teh Ami itu ya? Cantik nggak?” Tanya Fira.
“Cantik sih..” kataku.
-_-
“Pak, kata Trevi dia ketemu bapak di GOR waktu POPDA” sahut Fira sebelum Pak Arlin mulai mengajar.
“Ya, bapak ketemu Trevi juga anak-anak As-salam lain. Bagaimana pertandinggannya Trevi?” Tanya Pak Arlin.
“Jangan Tanya ke saya pak. Tanyakan saja pada teman-teman yang ikut tanding. Tapi memang pada gregetan” jawabku. Pak Arlin pun tertawa.
“Yah memang begitulah. Bapak salut kepada anak As-Salam yang bisa mewakili silat” tiba-tiba Pak Arlin terdiam.
“Kenapa pak?” Tanya anak kelas heran. Pak Arlin menghela nafas.
“Sebenarnya saya tidak ingin menceritakan kepada kalian. Namun karena sudah terlanjur ya…” perkataan Pak Arlin menggantung.
“Cerita aja pak, kita bisa jaga rahasia kok” kata Tiwi di sertai anggukan yang lain.
“Begini, kemarin saya menemukan perempuan yang sempat menghilang dalam hidup saya. Bisa di bilang saya menyukai perempuan tersebut”
“Wah pak, Bu Nida mau di kemanain pak?” Tanya Dela.
“Iya pak, kasihan Bu Nida tuh” sahut yang lain ikut-ikutan.
“Eh, Bu Nida itu akan menjadi milik orang lain. Lagi pula bapak menyukai perempuan ini sebelum bapak menyukai Bu Nida..”
“Jiah..” sahut anak-anak kompak.
“Pertama kali bapak bertemu dengan perempuan itu saat pertandingan kejurda. Lalu bertemu kembali saat sama-sama mewakili provinsi dalam Kejurnas. Setelah Kejurnas, bapak ingin melamarnya namun di tentang oleh orang tua angkat juga kandungnya karena masih terlalu muda dan masih kuliah. Setelah itu bapak di terima di sebuah SMA di Bandung dan mengajar di sana selama setahun. Setahun kemudian bapak memutuskan untuk pulang, dan bapak mengirimkan lamaran ke sini. Setelah di terima bapak pun pulang ke sini. Setiap dua hari sekali bapak menjenguk keluarga bapak di daerah sini” Pak Arlin istirahat sebentar. Sedangkan kami mendengar dengan minat.
“Dan ternyata bapak bertemu dengan perempuan itu di tempat dan waktu yang tidak terduga. Terakhir bapak melihat, perempuan itu terlihat gagah namun tetap cantik dalam pakaiannya juga kerudungnya sangat cocok dengan perempuan itu” Pak Arlin tampaknya mengakhiri ceritanya.
“Terus bapak mau melamar lagi?” Tanya Tiwi.
“Entahlah, tampaknya sampai sekarang bapak masih menyukai perempuan itu. Namun ya… bapak masih belum berani nak” tampang Pak Arlin seperti pasrah. Tiba-tiba kepalaku berputar-putar mencari sebuah fakta atau ingatan yang tertinggal, tapi apa ya? Dan Bingo! Aku menemukannya, tapi baru dugaan sih. Ah udahlah, males mikirinnya.
-_-
Kenapa hari ini aku melihat wajah Pak Arlin setegang itu ya? Tumben, kayaknya bakal ada sesuatu yang terjadi nih.
“Wi, keliatannya muka Pak Arlin tegang begitu?” Tanya ku pada Tiwi. Kelas sedang mendengarkan penjelasan Pak Arlin.
“Jiah dah, yang merhatiin” goda Tiwi pelan. Aku merenggut.
“Apaan sih, tanpa merhatiin udah keliatan kali” balas ku.
“Ya, yang di belakang ada apa?” Pak Arlin langsung menoleh.
“Eh, nggak pak!” sahut ku cepat. Pak Arlin lalu berbalik dan kembali menjelaskan.
-_-
Dan aku menemukan lagi tampang itu. Bukan Pak Arlin sih, tapi Teh Aulia. Kenapa sih? Kenapa aku harus menemukan tampang ini dalam dua kali sehari.
“Kenapa teh?” Tanya Ulya. Teh Aulia cepat menggeleng.
“Teh, cerita aja daripada di pendem nggak baik” kata Widi. Kami sedang beristirahat sambil meluruskan kaki.
“Teteh lagi tegang nungguin sesuatu” akhirnya Teh Aulia bicara.
“Nungguin apa? Pertandingan?” kali ini Widi yang bicara.
“Bukan”
“Terus apa dong?” Tanya Melati (Dia jarang latihan makanya baru nongol sekarang).
“Ada deh”
“Yee teteh jangan gitu dong. Aku tahu! Jangan-jangan teteh bakal di lamar!” seru Dena (Ini juga).
“Aah, sok tahu kamu!” seru Teh Aulia.
“Waah, kalau gitu teteh kapan nikahnya?” sahutku.
“Nggak pa-pa kali nikah muda. Teteh tahfidz aja banyak yang nikah muda” sahut Tera.
“Yee..teteh kan masih punya banyak impian. Memangnya kamu mau nikah muda?” Teh Aulia balik bertanya.
“Mau teh, katanya mau nikah habis lulus SMP!” sahutku. Tera pun menjitak kepalaku.
“Apaan sih! Kamu tuh yang mau nikah habis lulus SMP!” balas Tera.
“Udah-udah. Ayo lanjutin lagi!” Teh Aulia pun melerai kami.
-_-
Seminggu kemudian, aku melihat perubahan raut wajah pada Pak Arlin. Beliau terlihat lebih cerah!
“Aduh kenapa sih, kok Pak Arlin mukanya girang gitu sih?” batin ku.
“Pak kok bapak mukanya seneng gitu sih?” Tanya Hani di kelas. Pak Arlin hanya tersenyum, wajahnya berbinar.
“Baiklah, ini mengakhiri rahasia antara bapak dan kalian. Setelah melalui prjalanan yang panjang dan melelahkan… Akhirnya bapak berhasil mempersunting wanita itu” beber Pak Arlin.
“Eh iya pak??” jawab kami. Namun serentak terdengar ‘sstt’ pertanda untuk tidak rebut agar tidak bocor.
“Weeii…” seru kami.
“Ciye..bapak…” sahut yang lain.
“Rencananya bapak akan menikah saat liburan. Tanggal tepatnya bapak belum tahu pasti” lanjut Pak Arlin.
“Yahh bapak, kita nggak bisa datang dong” sahut anak-anak kecewa. Dan liburan tinggal seminggu lagi.
“Ah, lagian bapak nggak mau nyelenggarain pesta mewah, sederhana saja yang penting berkah” jawab Pak Arlin.
“Amiin” koor anak-anak.
“Pak sebutin namanya” pinta kami. Namun Pak Arlin menggeleng. Kami tetap meminta namun Pak Arlin tetap bersikukuh menolak.
“Teman serumah bapak juga tahu?” Tanya kami. Pak Arlin meangguk.
“Wah, kalau gitu kita Tanya ke orang rumahnya aja” usul Fera.
“Eit, bapak larang kalian untuk mengintograsi guru-guru juga orang-orang terdekat bapak, mengerti? Nanti kalian akan tahu lewat undangan yang bapak sebarkan”
“Yahh bapak…”
-_-
Hari ini seminggu menjelang kepulangan. Bearti seminggu lagi aku akan naik kelas 9, yeah ganbatte! Pasti berat tapi nikmati saja. Dan hari ini latihan terakhir sebelum liburan. Dan Teh Aulia mengumpulkan kami.
“Pertama, teteh minta maaf kalau selama ini teteh berbuat salah kepada kalian baik secara lisan atau perbuatan dan ada bagian dari teteh yang membuat kalian tidak nyaman dan berkenan. Kalian mau maafin teteh nggak?” Tanya Teh Aulia.
“Mau teh, teteh maafin kita juga ya” balas Silvi mewakili kami.
“Iya kok, teteh maafin kalian. Terus satu lagi, teteh akan menikah”
“Iya?? Kapan?? Kok ojol-ojol sih, memang kapan teteh di lamar??” Tanya kami kaget.
“Aduh, kalau ngasih pertanyaan satu-satu dong. Teteh dilamar dua minggu lalu. Kasihan calon suami teteh. Dia dites sama abah berat. Karena abah lulusan pesantren Di Tanya pemahaman agama panjang lebar, tentang pernikahan, komitmen, latar belakang, dan lain-lain. Bahkan sampai di suruh duel sama A Asep” cerita Teh Aulia.
“A Asep yang kakak seperguruan teteh?” Tanya Jihan. Teteh pun mengguk.
“Yaa sedangkan bapak menyerahkan keputusan sama teteh. Akhirnya setelah istikhoroh 3 hari, teteh menerima lamaran orang tersebut” Teh Aulia mengakhiri ceritanya.
“Wah, sama siapa teh? Teteh sudah kenal lama atau udah lama suka sama orang itu?” tanya Melati. Teh Aulia mengangguk dan mukanya memerah!
“Waaa.. tanggal pastinya kapan nih teh?” Tanya Silvi tidak sabar.
“Lho, mestinya kalian sudah tahu. Undangan sudah disebar bukan?”
“Jadi teteh??” tiba-tiba aku terlonjak. Teman memandangiku kaget.
“Kakak kenapa??” Tanya Dena. Aku bergegas menghampiri Teh Aulia dan membisikkan sesuatu. Teh Aulia mengangguk.
“Tuh tahu..” kata Teh Aulia.
“Yes! Bingo!” aku mengepalkan tangan.
“Kakak kenapa sih?” Tanya Widi heran. Namun Silvi buru-buru menghampiri ku.
“Kamu tahu siapa orangnya Tre?” tanyanya. Aku mengangguk dan membisikkan sesuatu. Silvi tampak tidak percaya.
“Eh iya teh??” seru Silvi. Teh Aulia mengangguk. Dalam waktu singkat kami dikerubuti oleh teman-teman.
“Kakak, kasih tahu dong” pinta mereka. Silvi segera berbisik. Sejurus kemudian. Mereka terlihat terkejut juga kaget.
“Wah jadi teteh….?” Dan tak lama kami pun rebut sedangkan wajah Teh Aulia semakin memerah!
Selesai
RASA SYUKUR ITU INDAH
Oleh Farras Hafidza
Tik…tik..Hujan masih ada bumi basah oleh cucuran air rahmatnya. Ya Allah basahi jiwa kami dengan selalu menyebut nama Mu. Lindungilah kami dari godaan syetan yang terkutuk. Ya Rabbi…Ampunilah dosa kami tunjukilah kami ke jalan yang benar yaitu jalan yang Engkau sayangi….
-amin-
“Fitri kamu lagi ngapain sayang”, terdengar ibu memanggilku dari bawah,”Fitri habis solat Bu, ada apa?” tanyaku seraya melipat mukena ku.. “ini ada telefon untuk mu”,”oh iya bu..”jawabku singkat sambil meniti satu persatu anak tangga.
“Halo, maaf ini siapa ya?”, ”ini Dara” terdengar suara menjawab dari ujung telfon di sana. Oh Dara anak sekelas dia adalah sainganku memperebutkan juara 1 di kelas, ada apa ya dia telfon sore-sore begini batinku dalam hati. ”Begini Fit kamu udah tau belum kalau besok kelas 9-4 mau bikin acara bukber di panti asuhan setiap anak di haruskan menyumbang minimal 50.000buat ongkos sama sumbangan buat beli makanannya. Terus kamu sama aku dapet tugas nyari catering untuk porsi 80 orang gitu. Kamu ada usul nggak mau pesen catering dimana kalau aku ada dekat rumahku catering tapi 1 porsinya 10.000 sedangkan dana kitacuma 500.000 gimana kamu ada chanel nggak?” Tanya Dara panjang lebar, ”oh catering aku punya kenalan Cuma setahu aku 1 porsinya 6000 cuma mungkin kalau kita pesan banyak bisa di diskon,nanti deh aku tanya ibuku dulu ya siapa tahu dia punya kenalan catering” jawabku.
“Oh ya sudah nanti kalau kamu sudah tanya telfon aku ya nanti aku cari info lagi makasih ya Fitri Assalamualaikum” Dara mengakhiri pembicaraan sore ini, setelah aku membalas salam dan menutup telefon aku langsung pergi ke kamar ibu untuk mananyakan masalah catering.
Alhamdulillah lega rasanya ternyata ibu punya kenalan catering yang cukup untuk dana yang telah di sediakan kata ibu menunya lengkap 4 sehat 5 sempurna itu usahanya ibu-ibu pensiunan yang hanya mencari kerjaan dan tidak memikirkan untung yang penting bisa di pakai untuk catering berikutnya. Segeralah aku memberi kabar pada Dara kata Dara besok ia mau main ke rumah untuk membicarakan pada aku dan ibu.
Di sekolah kami di beri tahu ulang oleh wali kelas kami beserta pembagian kelompoknya. Aku dan Dara bersyukur telah mendapat jalan keluar dari masalah kemarin sore.
Selesai sekolah Dara langsung main ke rumahku ia sudah pamit pada ibunya tadi pagi mau main ke rumah teman.Senangnya iu di rumah tidak pergi jadi kami bisa lebih jelas menanyakan cateringnya pada ibu.
Kata ibu kita bisa pesan melalui telefon saat itu juga kami langsung menelfon perusahaan catering tersebut memesan 80 porsi di antar ke panti asuhan milik ustad Rahman di jalan raya merdeka nomor 32. Dan Alhamdulillah kami bersyukur tidak ada halangan dan amanah sudah ditunaikan.
Di sekolah hari berikutnya teman-teman belum melaksanakan amanahnya masing-masing padahal besok sudah harus siap semua. Aku kasihan melihat teman-teman yang kerepotan mencari chanel dan dengan biaya yang telah di tentukan untuk masing-masing bidangnya. Aku dan Dara tidak bisa tinggal diam akhirnya kami membantu mereka satu persatu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasibku dan Dara kalau ibu tidak punya chanel bisa-bisa aku dan Dara saat ini juga kebingungan seperti teman-teman yang lain. Terima kasih ya Allah.
“Dara acaranya nanti sorekan?” Tanyaku memastikan,”iya nanti setelah sekolah selesai kita pulang dulu untuk berganti pakaian lalu kita kumpul lagi di sekolah pukul 4” jawab Dara menjelaskan,”eh gimana untuk transpotnya Fathan sama Faiq sudah dapatkan?”,”iya Alhamdulillah sudah dapat tadi Fathan sudah lapor ke ketua kelas kebetulan aku sedang lewat jadi aku tahu”,”oh kirain kamu ngupingpembicaraan mereka”,”ah dasar Fitri, Fitri menuduh yang nggak-nggakkan.”,”nggak lah Cuma bercanda kok,hehehe”,”iya-iya aku percaya deh sama kamu, yuk baris sepertinya sudah bel tadi” ajak Dara, ”yuk”aku menyetujui.
Beruntung sekali aku punya teman sebaik Dara walaupun kami adalah saingan sejak SD namun Dara tetap peduli padaku.Dan ia tidak pernah menganggapku sebagai musuhnya melainkan kami saling melengkapi kekurangan kami.
Sore harinya di panti asuhan…..
Waktu sudah menunjukkan pukul 5 namun catering yang kami pesan belum juga datang. ”Fit bagaimana dong sampai jam segini kok belum juga datang ya? Tadi si Rahmat udah nanyain tuh, aku takut kita nggak di percaya lagi sama temen-temen ”,”iya nih Dara dari tadi aku juga nunggu kok belum datang juga ya? aku sudah sms ibu tapi ibu belum ngabarin juga sampai sekarang”,”eh iya Fit kamu waktu itu nyimpen nomer cateringnya nggak?” Tanya Dara khawatir sama khawatirnya denganku.”enggak aku sama sekali nggak kepikiran kalau sampai begini, duh gimana nih Dar? mungkin nggak ya Dar kalau cateringnya nyasar? waktu itu kamu ngasih alamat lengkap kan?” tanyaku pada Dara ”masa sih nyasar?aku udah ngasih alamat selengkap-lengkapnya.
“salatullah..salamullah..”,”eh Fit HP kamu bunyi tuh mudah-mudahan aja dari ibu kamu”,”eh iya amin dehkalo dari ibu aku,ntar ya aku jawab telefon dulu”Alhamdulillah ibu yang telfon batin ku senang.
“halo Ibu….” aku menanyakan panjang lebar dengan panik pada ibu mungkin ibu pusing juga mendengar pertanyaan tanpa spasiku, tapi ibu tetap bisa mencerna semua pertanyaan ku dan menjawabnya dengan lengkap dan jelas walaupun agak terburu-buru.
“Dara, bagaimana dong ternyata cateringnya yang mengantar sedang izin mudik jadi tidak ada yang mengantarkan cateringnya, otomatis kita harus mengambilnya sendiri. Tapi pakai apa untuk membawa 80 porsi sekali angkut? karena waktunya tidak cukup sekarang sudah mau azan sedangkan ibuku sedang pergi dan supir dipakai ibu”, aku menjelaskan masalah kami pada Dara, ”ya sudah aku coba telefon ayahku dulu kalau ayah ku bisa kita bisa di antar ayah ku”Jawab Dara memberi solusi yang cukup baik.
Aku menunggu dengan perasaan takut aku bedo’a semoga ayahnya Dara bisa menolong kami,ya Allah bantulah kami menuju jalan keluar yang baik.Amin
“Fitri Alhamdulillah ayahku sedang dalam perjalanan menuju ke sini” Dara memberi tahuku dengan wajah bersinar. terimakasih Ya Robbi Engkau memang maha Berkehendak.
Alhamdulillah setelah catering datang acara berjalan seperti semula.
Saat melihat anak-anak makan dengan lahap aku merasa bersyukur atas apa yang telah Allah beri padaku. Alhamdulillah aku masih di beri keluarga, rizki yang cukup. dan masih banyak lagi yang bisa ku syukuri dengan melihan kondisi panti.
Acara selesai pada pukul 7 anak-anak di haruskan pulang kerumah masing-masing banyak anak yang sudah di jemput banyak juga yang pulang naik angkutan umum. Contohnya aku, aku harus pulang sendiri karena kedua orang tua ku sibuk di kantor dan kakak tidak mungkin menjemput karena harus jaga rumah dan adik. Saat aku hendak menyetop angkot jurusan pondok kopi terdengar klakson mobil yang membuatku bahagia ternya yang mengklakson tersebut adalah mobil ayah dan didalamnya ada Ibu ,wow.. ternyata ada kakak dan adik juga. Senangnya hatiku jarang sekali suasana seperti ini hinggap di keluargaku.
Terimakasih ya Allah,memang benar kata ibu tempat seperti asuhan adalah tempat yang cocok untuk kita dapat mensyukuri semua yang telah di berikan Allah. Dan cobalah melihat kebawah agar kita dapat bersyukur pada Allah banyak orang-orang yang tidak seberuntung kita, janganlah kita melihat ke atas karena kita tidak akan pernah bersyukur kalau kita selalu melihat ke atas, kecuali itu dapat mendorong kita agar lebih baik.
di post ulang dari :
http://membukaduniapendidikan.blogspot.com/p/kumpulan-cerpen-siswa.html