Makalah Pengembangan Ekonomi Kreatif Sebagai Penggerak Industri Pariwisata

Pengembangan Ekonomi Kreatif Sebagai Penggerak Industri Pariwisata

Suparwoko, Ir. MURP PhD

Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan

Universitas Islam Indonesia – Yogyakarta parwoko@ftsp.uii.ac.id

Abstrak

Kreatifitas merupakan modal utama dalam menghadapi tantangan global. Bentuk-bentuk ekonomi kreatif selalu tampil dengan nilai tambah yang khas, menciptakan “pasar”nya sendiri, dan berhasil menyerap tenaga kerja serta pemasukan ekonomis. Departemen Pedagangan Republik Indonesia memanfaatkan momentum ini dengan menyusun Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009 – 2015. Untuk mengembangkan ekonomi kreatif, diperlukan sejumlah SDM yang berkualitas dengan daya inovatif dan kreativitas yang tinggi. Namun, di samping kebutuhan akan SDM yang berualitas, pengembangan ekonomi kreatif juga membutuhkan ruang atau wadah sebagai tempat penggalian ide, berkarya, sekaligus aktualisasi diri dan ide-ide kratif. Di negara-negara maju, pebentukan ruang-ruang kreatif tersebut telah mengarah pada kota kreatif (creative city) yang berbasis pada penciptaan suasana yang kondusif bagi komunitas sehingga dapat mengakomodasi kreativitas. Kota-kota di Indonesia, dengan sejumlah keunikannya, memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai kota-kota kreatif. Pengembangan ekonomi kreatif dapat dilakukan seiring dengan pengembangan wisata. Kota-kota wisata di Indonesia, seperti Yogyakarta, Bandung, dan Lombok, sebenrnya telah memiliki ruang kreatif, yaitu zona-zona wisata itu sendiri. Atraksi wisata dapat menjadi sumber ide-ide keatif yang tidak akan pernah habis untuk dikembangkan. Proses kreativitas seperti pembuatan souvenir dapat menjadi atraksi wisata tersendiri yang memberikan nilai tambah. Sementara di sisi lain, pasar yang menyerap produk ekonomi kreatif telah tersedia, yaitu melalui turis atau wisatawan yang berkunjunng ke obyek wisata. Pembahasan lebih lanjut mengenai model ekonomi kreatif dan pengembangan wisata akan dijelaskan dalam makalah ini.

Pendahuluan

Globalisasi dan perdagangan global merupakan suatu hal yang tidak terelakkan dari kemajuan teknologi. Teknologi informasi dan komunikasi yang bekembang dengan pesat telah mengaburkan batas-batas wilayah karena satu wilayah dapat terhubung dengan wilayah lainnya dalam satu waktu yang sama. Pentingnya informasi diera tersebut kemudian menimbulkan ekonomi informasi, yaitu kegiatan ekonomi yang berbasis pada penyediaan informasi.

Setelah hampir sebagian besar wilayah di dunia terhubung pada era ekonomi informasi, tantangan globalisasi menjadi semakin nyata. Dalam konteks globalisasi, daya saing merupakan kunci utama untuk bisa sukses dan bertahan. Daya saing ini muncul tidak hanya dalam bentuk produk dalam jumah banyak namun juga berkualitas. Kualitas produk tersebut dapat diperoleh melalui pencitraan ataupun menciptakan produk-produk inovatif yang berbeda dari wilayah lainnya. Diperlukan kreativitas yang tinggi untuk dapat menciptakan produk-produk inovatif. Berangkat dari poin inilah, ekonomi kreatif menemukan eksistensinya dan berkembang (Salman, 2010).

Ekonomi kreatf telah dikembangkan di berbagai negara dan menampilkan hasil positif yang signifikan, antara lain berupa penyerapan tenaga kerja, penambahan pendapatan daerah, hingga pencitraan wilayah di tingkat internasional. Pencitraan wilayah muncul ketika suatu wilayah menjadi terkenal karena produk kreatif yang dihasilkannya. Sebagai contoh, Kota Bandung yang saat ini terkenal karena distro dan factory outlet-nya. Dalam konteks yang lebih luas, pencitraan wilayah dengan menggunakan ekonomi kreatif juga terkoneksi dengan berbagai sektor, di antaranya sektor wisata.

Ekonomi Kreatif : Definisi, Potensi, dan Tantangannya pada Kota-Kota di Indonesia

Definisi ekonomi kreatif hinggga saat ini masih belum dapat dirumuskan secara jelas. Kreatifitas, yang menjadi unsur vital dalam ekonomi kreatif sendiri masih sulit untuk dibedakan apakah sebagai proses atau karakter bawaan manusia. Departemen Perdagangan Republik Indonesia (2008) merumuskan ekonomi kreatif sebagai upaya pembangunan ekonomi secara berkelanjutan melalui kreativitas dengan iklim perekonomian yang berdaya saing dan memiliki cadangan sumber daya yang terbarukan. Definisi yang lebih jelas disampaikan oleh UNDP (2008) yang merumuskan bahwa ekonomi kreatif  merupakan bagian integratif dari pengetahuan yang bersifat inovatif, pemanfaatan teknologi secara kreatif, dan budaya. 

Lingkup kegiatan dari ekonomi kreatif dapat mencakup banyak aspek. Departemen Perdagangan (2008) mengidentifikasi setidaknya 14 sektor yang termasuk dalam ekonomi kreatif, yaitu :


  1. Periklanan
  2. Arsitektur
  3. Pasar barang seni
  4. Kerajinan (handicraft)
  5. Desain
  6. Fashion
  7. Film, video, dan fotografi

8.    Permainan interaktif

9.    Musik

10.  Seni pertunjukan

11.  Penrbitan dan percetakan

12.  Layanan komputer dan piranti lunak

13.  Radio dan televisi

14.  Riset dan pengembangan


Bila dilihat luasan cakupan ekonomi kreatif tersebut, sebagian besar merupakan sektor ekonomi yang tidak membutuhkan skala produksi dalam jumlah besar. Tidak seperti industri manufaktur yang berorientasi pada kuantitas produk, industri kreatif lebih bertumpu pada kualitas sumber daya manusia. Industri kreatif justru lebih banyak muncul dari kelompok industri kecil menengah. Sebagai contoh, adalah industri kreatif berupa distro yang sengaja memproduksi desain produk dalam jumlah kecil. Hal tersebut lebih memunculkan kesan eksklusifitas bagi konsumen sehingga produk distro menjadi layak untuk dibeli dan bahkan dikoleksi. Hal yang sama juga berlaku untuk produk garmen kreatif lainnya, seperti Dagadu dari Jogja atau Joger dari Bali. Kedua industri kreatif tersebut tidak berproduksi dalam jumlah besar namun ekslusifitas dan kerativitas desain produknya digemari konsumen.

Walaupun tidak menghasilkan produk dalam jumlah banyak, industri kreatif mampu memberikan kontribusi positif yang cukup signifikan terhadap perekonomian nasional. Depertemen Perdagangan (2008) mencatat bahwa kontribusi industri kreatif terhadap PDB di tahun 2002 hingga 2006 rata-rata mencapai 6,3% atau setara dengan 152,5 trilyun jika dirupiahkan. Industri kreatif juga sanggup menyerap tenaga kerja hingga 5,4 juta dengan tingkat partisipasi 5,8%. Dari segi ekspor, industri kreatif telah membukukan total ekspor 10,6% antara tahun 2002 hingga 2006.

Merujuk pada angka-angka tersebut di atas, ekonomi kreatif sangat potensial dan penting untuk dikembangkan di Indonesia. Dr. Mari Elka Pangestu dalam Konvensi Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015 menyebutkan beberapa alasan mengapa industri kreatif perlu dikembangkan di Indonesia, antara lain :

1.    Memberikan kontibusi ekonomi yang signifikan

2.    Menciptakan iklimbisnis yang positif

3.    Membangun citra dan identitas bangsa

4.    Berbasis kepada sumber daya yang terbarukan

5.    Menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa

6.    Memberikan dampak sosial yang positif

Salah satu alasan dari pengembangan industri kreatif adalah adanya dampak positif yang akan berpengaruh pada kehidupan sosial, iklim bisnis, peningkatan ekonomi, dan juga berdampak para citra suatu kawasan tersebut.

Dalam konteks pengembangan ekonomi kreatif pada kota-kota di Indonesia, industri kreatif lebih berpotensi untuk berkembang pada kota-kota besar atau kota-kota yang telah “dikenal”. Hal ini terkait dengan ketersediaan sumber daya manusia yang handal dan juga tersedianya jaringan pemasaran yang lebih baik dibanding kota-kota kecil. Namun demikian, hal itu tidak menutup kemungkinan kota-kota kecil di Indonesia untuk mengembangkan ekonomi kreatif. Bagi kota-kota kecil, strategi pengembangan ekonomi kreatif dapat dilakukan dengan memanfaatkan landmark kota atau kegiatan sosial seperti festival sebagai venue untuk mengenalkan produk khas daerah (Susan, 2004). Salah satu contoh yang cukup berhasil menerapkan strategi ini adalah Jember dengan Jember Fashion Carnival. Festival yang digelar satu tahun sekali tersebut mampu menarik sejumlah turis untuk berkunjung dan melihat potensi industri kreatif yang ada di Jember.

Bertolak dari kasus Jember dengan Jember Fashion Carnival, sejatinya sejumlah kota di Indonesia berpotensi untuk mengembangkan ekonomi kreatif. Indonesia dikenal sebagai negara dengan banyak suku bangsa dan budaya. Sebuah kota dapat merepresentasikan budayanya melalui cara-cara yang unik, inovatif, dan kreatif. Pada gilirannya, pengembangan ekonomi kreatif tersebut juga akan berdampak pada perbaikan lingkungan kota, baik secara estetis ataupun kualitas lingkungan.

Ekonomi Kreatif dan Pengembangan Wisata

Pariwisata didefinisikan sebagai aktivitas perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu dari tempat tinggal semula ke daerah tujuan dengan alasan bukan untuk menetap atau mencari nafkah melainkan hanya untuk bersenang senang, memenuhi rasa ingin tahu, menghabiskan waktu senggang atau waktu libur serta tujuan tujuan lainnya (UNESCO, 2009). Sedangkan menurut UU No.10/2009 tentang Kepariwisataan, yang dimaksud dengan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Seseorang atau lebih yang melakukan perjalanan wisata serta melakukan kegiatan yang terkait dengan wisata disebut Wisatawan. Wisatawan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara. Wisatawan nusantara adalah wisatawan warga negara Indonesia yang melakukan perjalanan wisata sementara wisatawan mancanegara ditujukan bagi wisatawan warga negara asing yang melakukan perjalanan wisata.

Untuk mengembangkan kegiatan wisata, daerah tujuan wisata setidaknya harus memiliki komponen-komponen sebagai berikut (UNESCO, 2009) :

  1. Obyek/atraksi dan daya tarik wisata
  2. Transportasi dan infrastruktur
  3. Akomodasi (tempat menginap)
  4. Usaha makanan dan minuman
  5. Jasa pendukung lainnya (hal-hal yang mendukung kelancaran berwisata misalnya biro perjalanan yang mengatur perjalanan wisatawan, penjualan cindera mata, informasi, jasa pemandu, kantor pos, bank, sarana penukaran uang, internet, wartel, tempat penjualan pulsa, salon, dll)

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia sebelumnya telah menetapkan program yang disebut dengan Sapta Pesona. Sapta Pesona mencakup 7 aspek yang harus diterapkan untuk memberikan pelayanan yang baik serta menjaga keindahan dan kelestarian alam dan budaya di daerah kita. Program Sapta Pesona ini mendapat dukungan dari UNESCO (2009) yang menyatakan bahwa setidaknya 6 aspek dari tujuh Sapta Pesona harus dimiliki oleh sebuah daerah tujuan wisata untuk membuat wisatawan betah dan ingin terus kembali ke tempat wisata, yaitu: Aman; Tertib; Bersih: Indah; Ramah; dan Kenangan

Ekonomi kreatif dan sektor wisata merupakan dua hal yang saling berpengaruh dan dapat saling bersinergi jika dikelola dengan baik (Ooi, 2006). Konsep kegiatan wisata dapat didefinisikan dengan tiga faktor, yaitu harus ada something to see, something to do, dan something to buy (Yoeti, 1985). Something to see terkait dengan atraksi di daerah tujuan wisata, something to do terkait dengan aktivitas wisatawan di daerah wisata, sementara something to buy terkait dengan souvenir khas yang dibeli di daerah wisata sebagai memorabilia pribadi wisatawan. Dalam tiga komponen tersebut, ekonomi kreatif dapat masuk melalui something to buy dengan menciptakan produk-produk inovatif khas daerah.

Pada era tradisional, souvenir yang berupa memorabilia hanya terbatas pada foto polaroid yang menampilkan foto sang wisatawan di suatu obyek wisata tertentu. Seiring dengan kemajuan tekonologi dan perubahan paradigma wisata dari sekedar “melihat” menjadi “merasakan pengalaman baru”, maka produk-produk kreatif melalui sektor wisata mempunyai potensi yang lebih besar untuk dikembangkan. Ekonomi kreatif tidak hanya masuk melalui something to buy tetapi juga mulai merambah something to do dan something to see melalui paket-paket wisata yang menawarkan pengalaman langsung dan interaksi dengan kebudayaan lokal.

Penerapan strategi pengembangan ekonomi kreatif melalui sektor wisata ini telah diterapkan di beberapa wilayah. Beberapa yang cukup sukses dan populer di antaranya adalah Kanazawa (Jepang), New Zealand, dan Singapura. Daerah Kanazawa, Jepang menawarkan paket wisata ke tempat pembuatan kerajinan (handicraft) warga setempat. Produk kerajinan (handicraft) Kanazawa merupakan bentuk kerajinan tradisional, seperti keramik dan sutra. Para pengrajin bekerja sekaligus menjual serta memamerkan hasil produksinya di sekitar kastil Kanazawa (Kanazawa Kanazawa City Tourism Association,  2010).

New Zealand mengadakan paket wisata berikut pelatihan kerajinan tanah liat, pelatihan membuat kerajinan perak, dan pembuatan anggur (wine). Dalam paket wisata tersebut, wisatawan dapat berpartisipasi aktif dan membawa pulang hasil kerajinannya sebagai memorabilia pribadi (Yozcu dan İçöz, 2010). Sementara Singapura mengembangkan ekonomi kreatif melalui pusat perbelanjaan sehingga dikenal sebagai daerah tujuan wisata belanja (Ooi, 2006).

Dalam pengembangan ekonomi kreatif melalui sektor wisata yang dijelaskan lebih lanjut oleh Yozcu dan İçöz (2010), kreativitas akan merangsang daerah tujuan wisata untuk menciptakan produk-produk inovatif yang akan memberi nilai tambah dan daya saing yang lebih tinggi dibanding dengan daerah tujuan wisata lainnya. Dari sisi wisatawan, mereka akan merasa lebih tertarik untuk berkunjung ke daerah wisata yang memiliki produk khas untuk kemudian dibawa pulang sebagai souvenir. Di sisi lain, produk-produk kreatif tersebut secara tidak langsung akan melibatkan individual dan pengusaha enterprise bersentuhan dengan sektor budaya. Persentuhan tersebut akan membawa dampak positif pada upaya pelestarian budaya dan sekaligus peningkatan ekonomi serta estetika lokasi wisata. Contoh bentuk pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 : Bentuk Pengembangan Ekonomi Kreatif sebagai Penggerak Sektor Wisata

Wisata

Ekonomi Kreatif

1. Something to see

·         Festival (contoh : Jember Fashion Carnival)

·         Proses kebudayaan (contoh : pembuatan kerajinan batik)

2. Something to do

Wisatawan berlaku sebagai konsumen aktif, tidak hanya melihat atraksi dan membeli souvenir tapi ikut serta dalam atraksi

3. Something to buy

Souvenir (handicraft atau memorabilia)

Sumber: Yoeti, 1985 dan diolah

Potensi pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata di Indonesia masih belum dapat diimplementasikan secara optimal. Jika dibandingkan dengan pola paket wisata luar negeri seperti yang diuraikan di atas, Indonesia mengadopsi bentuk paket wisata tersebut ke dalam desa wisata. Hingga saat ini, tercatat banyak desa wisata yang bermunculan namun hanya sebagian kecil yang berhasil (dalam arti sanggup mendatangkan wisatawan secara berkala dan meningkatkan ekonomi warganya). Fenomena banyaknya desa wisata di Indonesia seringkali terjadi bukan sebagai bentuk kreatifitas, tetapi lebih pada prestige. Sangat sering ditemui desa wisata yang infrastrukturnya tidak siap untuk dikunjungi wisatawan. Kelemahan terbesar dari konsep desa wisata selanjutnya adalah minimnya upaya promosi dan tidak adanya link dengan industri kreatif untuk produksi souvenir. Wisatawan hanya sekedar datang dan pulang tanpa membawa sesuatu untuk dikenang (memorabilia) atau untuk dipromosikan pada calon wisatawan lainnya.

Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa ekonomi kreatif dan sektor wisata pada sebagian besar kota-kota di Indonesia berjalan secara terpisah. Masih kurangnya linkage antara ekonomi kreatif dan sektor wisata dapat terlihat dari tiadanya tempat penjualan souvenir khas daerah. Kalaupun ada, tempat penjualan souvenir dan souvenir yang dijual terkesan “biasa” saja, dan dapat dengan mudah ditemukan di daerah lain. Atau, pada beberapa kasus, tempat penjualan souvenir berlokasi terlalu jauh. Pasar Gabusan Yogyakarta merupakan salah satu contoh tempat ekonomi kreatif yang berada terlalu jauh dari tempat wisata, kurang dipromosikan, dan dengan desain produk yang “biasa” saja sehingga menjadi sebuah proyek yang gagal mendatangkan lebih banyak wisatawan.

Pada hakikatnya, hampir sebagian besar kota/kabupaten di Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata. Kota/kabupaten di Indonesia memiliki daya tarik wisata yang berbeda untuk dapat diolah menjadi ekonomi kreatif. Purworejo, sebagai salah satu kota tertua di Indonesia, memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan ekonomi kreatif. Alun-alun Purworejo dengan sentra kuliner dan bedug sebagai atraksi wisata membutuhkan sentuhan kreatifitas, di antaranya dengan menciptakan souvenir khas Purworejo. Potensi kerajinan di Kabupaten Purworejo dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Industri Kerajinan Rumah Tangga di Kabupaten Purworejo 2007

Jenis kerajinan

Jumlah

Lokasi/Kecamatan

1.       Sangkar burung

69

Kutoarjo

2.       Ukir kayu

12

Kaligesing

3.       Anyaman bambu

2741

13 kecamatan

4.       Anyaman mendong

25

Ngombol dan Bruno

5.       Anyaman batok/kayu

12

Grabag, Purworejo, Kutoarjo

6.        Minyak Astiri 18

18

Kaligesing, Kemiri, Bruno

7.       Batik tulis

189

Grabag, Bagelen, Banyurip, Bayan, Pituruh, Kemiri

8.       Konveksi

75

Bagelen, Purworejo, Bruno

9.       Bordir

27

Grabag

10.   Sepatu

4

Ngombol, Purworejo, Kutoarjo

11.   Ikat pinggang

1

Kutoarjo

Dari segi sumber daya manusia, keberadaan sejumlah UMKM berpotensi untuk diarahkan sebagai industri-industri kreatif. Tidak berhenti di situ, potensi wisata Purworejo juga mencakup wisata alam, wisata budaya, hingga wisata sejarah (potensi wisata Purworejo secara lebih lengkap ditampilkan dalam Tabel 3).

Tabel 3 : Potensi Wisata Purworejo

Bentuk Wisata

Lokasi

Wisata alam gua

Seplawan, Anjani, Gong, Silumbu, Gajah dan Semar

Wisata Pantai

Jatimalang, Ketawang, dan Watukuro

Air Terjun

Curug Muncar, Curug Pangilon, dan Curug Silangit

Wisata Buatan

Kawasan Geger Menjangan

Wisata Sejarah/Budaya

Imampuro, Bagelen, Nanggul Jaya, Cokronegoro, Pangeran Bintoro

Wisata Bangunan Bersejarah

Kawasan pusat kota Purworejo dari Stasiuk KA hingga SPG (SMU 2)

Masjid

Kauman, Seboro Krapyak, Santren, dan Banyu-urip

Gereja

Kyai Sadrah, GPIB, dan Gereja Katolik

Sumber: RIPP Purworejo, 1996

Sementara menurut hasil survei potensi wisata yang dilakukan pada bulan April 2004 berhasil mengidentifikasi sejumlah aset wisata yang dimiliki oleh Purworejo, yaitu :

1.    Aset Bangunan Bersejarah     : Mesjid Kauman, Gereja, Bangunan Kawasan Pusat Kota (Stasiun-SPG/SMU-2), Kerkop, dan Benteng Pendem.

2.    Aset Wisata Spiritual/Makam : Cokro Negoro, Gagak Handoko, Romo Sumono, Imampuro, Gagak Pranolo, Nyai Bagelen, dan Mesjid Satren.

3.    Aset Wisata Pahlawan                        : Taman Makam Pahlawan, A. Yani, Sarwo Edhi, Urip Sumoharjo, dan WR Supratman

Potensi wisata tersebut dapat dikembangkan melalui ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif di sini tidak hanya melibatkan masyarakat atau komunitas sebagai sumber daya yang berkualitas, tetapi juga melibatkan unsur birokrasi dengan pola entrepreneurship (kewirausahaan). Konsep pelibatan birokrasi dalam ekonomi kreatif adalah bahwa birokrasi tidak hanya membelanjakan tetapi juga menghasilkan (income generating) dalam arti positif (Obsore dan Gaebler, 1992). Pertentangan pajak untuk penganggaran unit-unit birokrasi harus dihentikan dan birokrasi harus dapat menciptakan “pemasukan” baru melalui ekonomi kreatif (Gale Wilson, Mantan Manajer Kota Fairled, California).

Strategi pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata dirumuskan sebagai berikut (Barringer) :

  1. Meningkatkan peran seni dan budaya pariwisata
  2. Memperkuat keberadaan kluster-kluster industri kreatif
  3. Mempersiapkan sumber daya manusia yang kreatif
  4. Melakukan pemetaan aset yang dapat mendukung munculnya ekonomi kreatif.
  5. Mengembangkan pendekatan regional, yaitu membangun jaringan antar kluster-kluster industri kreatif.
  6. Mengidentifikasi kepemimpinan (leadership) untuk menjaga keberlangsungan dari ekonomi kreatif, termasuk dengan melibatkan unsur birokrasi sebagai bagian dari leadership dan facilitator.
  7. Membangun dan memperluas jaringan di seluruh sektor
  8. Mengembangkan dan mengimplementasikan strategi, termasuk mensosialisasikan kebijakan terkait dengan pengembangan ekonomi kreatif dan pengembangan wisata kepada pengrajin. Pengrajin harus mengetahui apakah ada insentif bagi pengembangan ekonomi kreatif, ataupun pajak ekspor jika diperlukan.

Model Pengembangan Ekonomi Kreatif Sebagai Penggerak Sektor Wisata

Pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata memerlukan sinergi antar stakeholder yang terlibat di dalamnya, yaitu pemerintah, cendekiawan, dan sektor swasta (bisnis). Dalam Konvensi Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015 yang disampaikan oleh Dr. Mari Elka Pangestu, berhasil dirumuskan model sinergitas antar stakeholders ekonomi kreatif, khususnya pada sub sektor kerajinan. Sebagai catatan, sub sektor kerajinan merupakan bentuk ekonomi kreatif yang paling dekat dengan pengembangan wisata. Kerajinan termasuk pada pembuatan souvenir atau memorabilia yang memberikan “kenangan” pada wisatawan sehingga membuka peluang agar wisatawan tersebut kembali berkunjung di kesempatan lain.

Model pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata dapat diadaptasi dari model-model kota kreatif. Kota kreatif bertumpu pada kualitas sumber daya manusia untuk membentuk (bisa dalam bentuk design atau redesign) ruang-ruang kreatif (UNDP, 2008). Pembentukan ruang kreatif diperlukan untuk dapat merangsang munculnya ide-ide kreatif, karena manusia yang ditempatkan dalam lingkungan yang kondusif akan mampu menghasilkan produk-produk kreatif bernilai ekonomi. Festival budaya, merupakan salah satu bentuk penciptaan ruang kreatif yang sukses mendatangkan wisatawan. Penjelasan lebih lanjut terdapat pada Bagan Model Sinegitas Stakeholders Ekonomi Kreatif Sub-Sektor Kerajinan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2: Bagan Model Sinergitas Stakeholders Ekonomi Kreatif Sub-Sektor Kerajinan (sumber: Departemeni Perdagangan Rep. Indonesia, 2008)

Dalam konteks kepariwisataan, diperlukan ruang-ruang kreatif bagi para pengrajin untuk dapat menghasilkan produk khas daerah wisata yang tidak dapat ditemui di daerah lain. Salah satu tempat yang paling penting bagi seorang pengrajin untuk bisa menghasilkan karya adalah bengkel kerja atau studio. Bengkel kerja atau studio sebagai ruang kreatif harus dihubungkan dengan daerah wisata sehingga tercipta linkage atau konektivitas. Konektivitas tersebut diperlukan untuk mempermudah rantai produksi (Evans, 2009). Dari segi ekonomi kreatif, produk kerajinan dalam bentuk souvenir dapat terjual sementara dari sektor wisata, wisatawan memperoleh suatu memorabilia mengenai daerah wisata tersebut. Konektivitas atau linkage antara ekonomi kreatif dan wisata dapat berbentuk outlet penjualan yang terletak di daerah wisata. Dengan kata lain, wisata menjadi venue bagi ekonomi kreatif untuk proses produksi, didtribusi, sekaligus pemasaran. Seperti dijelaskan pada Gambar 3.

 Hal lain yang perlu diperhatikan dalam implementasi model linkage tersebut adalah penetapan lokasi outlet yang harus diusahakan berada di tempat stratgis dan dekat dengan tempat wisata. Upaya ini telah dilakukan sejumlah industri kreatif, di antaranya Dagadu yang meletakkan outlet-nya di pusat perbelanjaan. Contoh lain adalah industri batik di Kampung Laweyan, Solo. Wisatawan dapat melihat proses pembuatan batik, beberapa paket wisata malah menawarkan wisatawan untuk mencoba membatik, dan setelah melihat proses pembatikan wisatawan dapat berkunjung ke outlet penjualan batik untuk membeli batik sebagai souvenir.

Pengembangan Industri Kreatif untuk mendukung Pariwisata Purworejo

Potensi batik sebagai industri kreatif saat ini sangat tinggi. Batik telah diakui sebagai warisan budaya oleh UNESCO di tahun 2009 dan telah dikenal oleh masyarakat internasional sebagai produk khas Indonesia. Dalam penyelenggaraan INACRAFT tahun 2009, batik tercatat sebagai komoditas yang paling diminati (Warta Ekspor, 2009). Persebaran motif batik di Indonesia cukup luas dan masing-masing daerah memiliki motif khas yang berbeda antara satu dengan lainnya. Kekayaan motif batik Indonesia juga bertambah dengan munculnya motif-motif baru yang umumnya berwarna lebih cerah dan memiliki corak yang lebih modern.

Purworejo memiliki sejumlah UMKM yang bergerak di bidang produksi batik namun belum digarap secara optimal sebagai bagian dari industri kreatif ataupun wisata. Di kabupaten Purworejo  terdapat dua jenis batik dari segi produksinya, yaitu batik tulis dan batik cap. Sejumlah kelompok sentra kerajinan batik tulis di Purworejo yaitu (1) Laras Driyo di Kecamatan dan Wahyuningsih di kecamatan Grabag, (2) Lung Kenongo di kecamatan Banyuurip, (3) Wijoyo Kusumo dan Sidoluhur di kecamatan Bayan, dan (4) Limaran di kecamatan Bagelen. Batik cap di Purworejo sempat mengalami masa jaya di tahun 1970an namun saat ini tengah mengalami “mati suri”, khususnya di keluraahan Baledono yang sudah tidak berproduksi lagi. Alat cap batik sebagian besar telah dijual dan ruang produksinya telah dialihfungsikan.

Jika dikomparasikan dengan model pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak ekonomi wisata, Purworejo telah memiliki sejumlah modal utama. Alun-alun Purworejo yang terkenal dengan bedug terbesar yang dibuat dari satu batang pohon utuh merupakan sebuah landmark dan lokasi di sekitarnya berpotensi menjadi outlet untuk industri kreatif. Sentra kuliner di sekeliling alun-alun juga memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi industri kreatif, antara lain dengan menyajikan kulier tradisional, menciptakan kuliner baru, atau bahkan dengan menciptakan kemasan baru. Untuk industri kreatif kuliner, Bandung merupakan salah satu contoh sukses karena berhasil mengembangkan kuliner-kuliner dengan penyajian yang kreatif serta rasa yang inovatif, seperti pisang molen, roti unyil, ataupun cireng aneka rasa. Untuk lebih jelas pola adaptasi pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata yang di terapkan di  Purworejo, perhatikan Tabel 4.

Tabel 4: Adaptasi Pengembangan Ekonomi Kreatif sebagai Penggerak Sektor Wisata di Purworejo

Wisata

Ekonomi Kreatif

1. Something to see

Alun-alun Purworejo (bedug terbesar)

2. Something to do

·     Wisata kuliner

·     Proses pembuatan batik tulis ataupun batik cap

3. Something to buy

Souvenir :

·     Kuliner khas

·     Batik Purworejo

Sementara di sisi lain, batik Purworejo yang belum tergarap juga merupakan potensi ekonomi kreatif. Bercermin dari Laweyan, Solo, indsutri batik Purworejo dapat dikemas dalam paket-paket wisata atraktif. Wisatawan dapat melihat proses pembuatan batik tulis ataupun batik cap Purworejo. Untuk batik cap, karena proses pembuatannya relatif lebih mudah dan cepat dibanding batik tulis, dapat dikemas paket wisata yang menawarkan wisatawan untuk berkerasi dengan batik cap dan setelahnya hasil kreasi wisatawan tersebut dapat dikirim sebagai souvenir (dengan ongkos pembayaran tertentu). Pola-pola industri kreatif tersebut akan dapat menghidupkan lagi kerajinan batik cap yang saat ini sedang mati suri,

Untuk mendukung pengembangan batik sebagai bagian dari industri kreatif sekaligus penggerak wisata, perlu diciptakan linkage antara industri batik dan atraksi wisata Purworejo. Outlet kerajinan batik sebaiknya diposisikan dekat dengan alun-alun Purworejo, sehingga tercipta suatu sistem wisata; wisatawan berkunjung melihat atraksi wisata di Alun-alun, makan di sekitar alun-alun, membeli oleh-oleh makanan khas, dilanjutkan dengan melihat sekaligus membeli batik Purworejo sebagai souvenir. seperti digambarkan pada Gambar 4.

Tabel 5: pola-pola pengembangan ekonomi kreatif

Bentuk Wisata

Lokasi

Pengembangan Ekonomi Kreatif

Wisata alam gua

Seplawan, Anjani, Gong, Silumbu, Gajah dan Semar

·     Paket wisata “jelajah gua”, tracking,

·     Outbond, dan out let souvenir

Wisata Pantai

Jatimalang, Ketawang, dan Watukuro

·     Paket wisata kuliner ikan laut Outbond, motocross, pacuan kuda

·     Outlet souvenir

Air Terjun

Curug Muncar, Curug Pangilon, dan Curug Silangit

·      Outbond, Tracking

·      Outlet souvenir

Wisata Buatan

Kawasan Geger Menjangan

·   Berenang, minizoo, outbond, tracking, berkuda, kuliner, pentas musik, belanja, dan outlet souvenir

Wisata Sejarah/Budaya

Imampuro, Bagelen, Nanggul Jaya, Cokronegoro, Pangeran Bintoro

·      Penyelenggaraan festival sejarah

·      Outlet souvenir

Wisata Bangunan Bersejarah

Kawasan pusat kota Purworejo dari Stasiuk KA hingga SPG (SMU 2)

Paket wisata fotografi (wisatawan dapat “berburu” foto bangunan bersejarah dan dilengkapi panduan sejarah dari bangunan tersebut) dan Outlet souvenir

Masjid

Kauman, Seboro Krapyak, Santren, dan Banyu-urip

Paket wisata religi (semacam pesantren kilat) dan Outlet souvenir

Pola-pola pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata juga dapat diterapkan pada obyek wisata lain di Purworejo. Bentuk adaptasi pola-pola pengembangan ekonomi kreatif tersebut dijabarkan dalam Tabel 5.

Tantangan Pengembangan Ekonomi Kreatif sebagai Penggerak Sektor Wisata

Pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata walau terdengar sangat menjanjikan, namun tetap memiliki sejumlah tantangan. Tantangan tersebar terkait dengan keberlanjutan industri kreatif itu sendiri untuk menggerakkan sektor wisata. Trend wisata cenderung cepat berubah sehingga pengrajin dituntut untuk bisa menciptakan produk-produk kreatif dan inovatif. Di sisi lain, pengarajin juga tidak boleh terjebak pada selera pasar karena dapat menghilangkan orisinalitas dan keunikan produk (Syahram 2000). Ooi (2006), mengindentifikasi sejumlah tantangan pengembangan sebagai berikut :

1.    Kualitas poduk.

Dengan bertumpu pada pengembangan wisata, maka produk ekonomi kreatif akan lebih berorientasi pada selera wisatawan dan diproduksi dalam jumlah yang cukup banyak sebagai souvenir. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya keunikan ataupun nilai khas dari produk hasil ekonomi kreatif tersebut.

2.    Konflik sosial terkait dengan isu komersialisasi dan komodifikasi.

Pengembangan ekonomi kreatif melalui wisata seringkali ”mengkomersialisasikan” ruang-ruang sosial dan kehidupan sosial untuk dipertontonan pada wisatawan sebagai atraksi wisata. Bila tidak dikelola dengan melibatkan komunitas lokal, hal ini dapat berkembang menjadi konflik sosial, karena di beberapa komunitas terdpat ruang-ruang sosial yang bersifat suci dan tidak untuk dipertontonkan pada wisatawan.

3.    Manajemen ekonomi kreatif.

Ekonomi kreatif seringkali menyajikan produk-produk yang berbau isu politik ataupun isu sosial yang sangat sensitif (misal : rasialisme). Untuk mengatasi hal ini, dibutuhkan manajemen ekonomi kreatif yang baik, dengan salah satu fungsinya menentukan ”guideline” ekonomi kreatif mana yang harus dikembangkan dan mana yang sebaiknya tidak dikembangkan

Kesimpulan

Sinergi antara ekonomi kreatif dengan sektor wisata merupakan sebuah model pengembangan ekonomi yang cukup potensial untuk dikembangkan di Indonesia, termasuk Kabupaten Purworejo. Untuk mengembangkan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata dibutuhkan konektivitas, yaitu dengan menciptakan outlet produk-prouk kreatif di lokasi yang strategsi dan dekat dengan lokasi wisata. Outlet tersebut dapat berupa counter atau sentra kerajinan yang dapat dikemas dalam paket-paket wisata. Outlet kerajinan berupa counter atau kios atau toko sebaiknya dikembangkan pada tempat wisata yang sudah popular seperti mesjid agung dan alun-alun Purworejo. Pada sentra kerajinan wisatawan tidak hanya sekedar membeli souvenir, tetapi juga melihat proses pembuatannya dan bahkan ikut serta dalam proses pembuatan tersebut (souvenir sebagai memorabilia).

Potensi batik selain untuk kebutuhan souvenir pariwisata juga bisa untuk kebutuhan seragam sekolah dan pegawai. Untuk menggerakkan industry keratif dalam perekonomian dan kepariwisataan Purworejo, maka potensi kerajinan batik perlu dikembangkan dan didukung melalui kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, Pemda Purworejo bekerja sama dengan DPR, tokoh dan pengusaha batik menyusun Perda seragam batik untuk para pegawai negeri, swasta, sekolah  (SD, SMP, SMA). Perda perlu disiapkan dengan instansi terkait untuk mengembangkan produksi batik cap secara bertahap sesuai dengan kebutuhan seragam.

Setelah akes cukup jelas, maka usaha kerajinan perlu ditingkatkan pada aspek ketrampilan SDM perajin, akases teknologi dan financial atau permodalan. Sehingga peran pemerintah, perguruan tinggi dan dana bergulir dari BUMN sangat dibutuhkan.

Daftar Pustaka

Barringer, Richard, et.al., (tidak ada tahun). “The Creative Economy in Maine: Measurement & Analysis”, The Southern Maine Review, University of Southern Maine

Christopherson, Susan (2004). “Creative Economy Strategies For Small and Medium Size Cities: Options for New York State”, Quality Communities Marketing and Economics Workshop, Albany New York, April 20, 2004

Departemen Perdagangan Republik Indonesia (2008). “Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025 : Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009 – 2025”

Evans, Graeme L (2009). “From Cultural Quarters to Creative Clusters – Creative Spaces in The New City Economy”

Kanazawa City Tourism Association,  2010, “Trip to Kanazawa, City of Crafts 2010 Dates: Jan.

Ooi, Can-Seng (2006). ”Tourism and the Creative Economy in Singapore”

Pangestu, Mari Elka (2008). “Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025”, disampaikan dalam Konvensi Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015 yang diselenggarakan pada Pekan Produk Budaya Indonesia 2008, JCC, 4 -8 Juni 2008

Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (RIPP) Purworejo, (1996)

Salman, Duygu (2010). “Rethinking of Cities, Culture and Tourism within a Creative Perspective” sebuah editorial dari PASOS, Vol. 8(3) Special Issue 2010-06-16

Sumantra, I Made (tidak ada tahun). ”Peluang Emas Seni Kriya Dalam Ekonomi Kreatif”

Syahra, Rusydi (2000). “Pengelolaan Sumber Daya Manusia Pendukung Produksi Produk Kerajinan Sebagai Daya Saing Dalam Menghadapi Persaingan”, makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Kerajinan 2000, Balai Sidang, Jakarta

UNDP (2008). “Creative Economy Report 2008”

UNESCO (2009). Pamduan Dasar Pelaksanaan Ekowisata

Yoeti, Oka A. (1985). Pengantar Ilmu Pariwisata, Bandung: Angkasa

Yozcu, Özen Kırant dan İçöz, Orhan (2010). “A Model Proposal on the Use of Creative Tourism Experiences in Congress Tourism and the Congress Marketing Mix”, PASOS, Vol. 8(3) Special Issue 2010