Sejarah NU, Muhammadiyah, HTI, PKS dan Salafi Di Indonesia
1. Sejarah NU
Keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana–setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi’dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (13 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagi Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy’ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
2. Sejarah Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KHA Dahlan.
Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang.
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.
Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut “Sidratul Muntaha”. Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.
Disamping memberikan kegiatan kepada laki-laki, pengajian kepada ibu-ibu dan anak-anak, beliau juga mendirikan sekolah-sekolah. Tahun 1913 sampai tahun 1918 beliau telah mendirikan sekolah dasar sejumlah 5 buah, tahun 1919 mendirikan Hooge School Muhammadiyah ialah sekolah lanjutan. Tahun 1921 diganti namnaya menjadi Kweek School Muhammadiyah, tahun 1923, dipecah menjadi dua, laki-laki sendiri perempuan sendiri, dan akhirnya pada tahun 1930 namnaya dirubah menjadi Mu`allimin dan Mu`allimat.
Muhammadiyah mendirikan organisasi untuk kaum perempuan dengan Nama ‘Aisyiyah yang disitulah Istri KH. A. Dahlan, Nyi Walidah Ahmad Dahlan berperan serta aktif dan sempat juga menjadi pemimpinnya.
KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.
3. Sejarah HTI
Hizbut Tahrir berdiri pada tahun 1953 di Al-Quds (Baitul Maqdis), Palestina. Gerakan yang menitik beratkan perjuangan membangkitkan umat di seluruh dunia untuk mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya kembali Khilafah Islamiyah ini dipelopori oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang ulama alumni Al-Azhar Mesir, dan pernah menjadi hakim di Mahkamah Syariah di Palestina.
Hizbut Tahrir kini telah berkembang ke seluruh negara Arab di Timur Tengah, termasuk di Afrika seperti Mesir, Libya, Sudan dan Aljazair. Juga ke Turki, Inggris, Perancis, Jerman, Austria, Belanda, dan negara-negara Eropah lainnya hingga ke Amerika Serikat, Rusia, Uzbekistan, Tajikistan, Kirgistan, Pakistan, Malaysia, Indonesia, dan Australia.
HT masuk ke Indonesia melalui orang Libanon. Namanya Abdurrahman Al-Baghdadi. Ia bermukim di Jakarta pada tahun 80-an. Kemudian juga dibawa Mustofa bin Abdullah bin Nuh. Inilah yang mendidik tokoh-tokoh HTI di Indonesia seperti Ismail Yusanto,tokoh-tokoh Hizbut Tahrir sekarang. Tapi sebenarnya diantara mereka ada friksi. Karena tokoh-tokoh HTI yang sekarang merasa dilangkahi oleh Ismail Yusanto.
Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an dengan merintis dakwah di kampus-kampus besar di seluruh Indonesia. Pada era 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir merambah ke masyarakat, melalui berbagai aktivitas dakwah di masjid, perkantoran, perusahaan, dan perumahan
Di Indonesia HTI terus terang menganggap Pancasila jahiliah. Nasionalisme bagi mereka jahiliah. Tapi reformasi memberi angin kepadakelompok-kelompok ini sehingga dibiarkan saja. Dan tidak ada dialog. HTI memanfaatkan institusi (seolah-olah) “mendukung” pemerintah untuk mempengaruhi MUI (Majelis Ulama Indonesia). Tapi mereka taqiah (menyembunyikan agenda perjuangan aslinya), sebab mereka menganggap Indonesia itu sebenarnya jahiliah. Taqiah itu ideologi Syiah tapi dipakai oleh HTI
4. Sejarah IM (PKS)
Ikhwanul Muslimin pusatnya di Ismailiah, Mesir. Organisasi ini berdiri pada 1928. Pendiri Ikhwanul Muslimin Syaikh Hasan Al-Banna. Syaikh Hasan Al-Banna ini moderat. Dia berusaha mengakomodasi kelompok salafy yang wahabi, merangkul kelompok tradisional dan juga merangkul kelompok pembaharu yang dipengaruhi oleh Muhammad Abduh. Syaikh Al-Banna menyatakan bahwa Ikhwanul Muslimin itu harkah islamiyah, sunniyah, salafiyah, jadi diakomodasi semua, sehingga ikhwanul muslimin menjadi besar.
Dalam Ikhwanul Muslimin ada lembaga bernama Tandhimul Jihad. Yaitu institusi jihad dalam struktur Ikhwanul Muslimin yang sangat rahasia. Kader yang berada dalam Tandhimul Jihad ini dilatih militer betul, doktrinnya pakai kesetiaan seperti tarikat kepada mursyid. Ini dibawah komando langsung Ikhwanul Muslimin. Para militer atau milisi ini menarik kelompok-kelompoksekuler yang ingin belajar tentang disiplin militer. Gammal Nasser, dan Anwar Sadat, juga belajar pada Tandhimul Jihad ini.
Partai Keadilan Sejahtera (PK-Sejahtera) merupakan pelanjut perjuangan Partai Keadilan (PK) yang dalam pemilu 1999 lalu meraih 1,4 juta suara (7 kursi DPR, 26 kursi DPRD Propinsi dan 163 kursi DPRD Kota/Kabupaten).
PK-Sejahtera percaya bahwa jawaban untuk melahirkan Indonesia yang lebih baik di masa depan adalah dengan mempersiapkan kader-kader yang berkualitas baik secara moral, intelektual, dan profesional. Karena itu, PK-Sejahtera sangat peduli dengan perbaikan-perbaikan ke arah terwujudnya Indonesia yang adil dan sejahtera.
Kepedulian inilah yang menapaki setiap jejak langkah dan aktivitas partai. Dari sebuah entitas yang belum dikenal sama sekali dalam jagat perpolitikan Indonesia hingga dikenal dan eksis sampai saat ini.
IM masuk ke Indonesia melalui mahasiswa yang belajar di Mesir. IM di Indonesia bergerak lewat mahasiswanya yang dinamakan usrah (keluarga). Usrah ini minimal 7 orang, dan maksimal 10 orang. Masing-masing usrah ada amirnya dan amir inilah yang bertanggungjawab terhadap kelompok. Bagaimana mengatasi kebutuhan kehidupan sehari-hari terpenuhi, misalnya kalau ada anggota yang kesulitan bayar SPP.
IM tak hanya bergerak di bidang politik, tapi juga bidang-bidang lain. Kelompok ini kemudian menamakan diri sebagai Tarbiyah yang bermarkas di kampus-kampus . Kelompok Tarbiyah inilah yang menjadi cikal bakal PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Mereka umumnya alumni Mesir, Syiria atau Saudi.
5. Sejarah Kemunculan Salafi di Indonesia
Di tahun 80-an, -seiring dengan maraknya gerakan kembali kepada Islam di berbagai kampus di Tanah air- mungkin dapat dikatakan sebagai tonggak awal kemunculan gerakan Salafiyah modern di Indonesia. Adalah Ja’far Umar Thalib salah satu tokoh utama yang berperan dalam hal ini.
Di samping Ja’far Thalib, terdapat beberapa tokoh lain yang dapat dikatakan sebagai penggerak awal Gerakan Salafi Modern di Indonesia, seperti: Yazid Abdul Qadir Jawwaz (Bogor), Abdul Hakim Abdat (Jakarta), Muhammad Umar As-Sewed (Solo), Ahmad Fais Asifuddin (Solo), dan Abu Nida’ (Yogyakarta). Nama-nama ini bahkan kemudian tergabung dalam dewan redaksi Majalah As-Sunnah –majalah Gerakan Salafi Modern pertama di Indonesia-, sebelum kemudian mereka berpecah beberapa tahun kemudian.
Adapun tokoh-tokoh luar Indonesia yang paling berpengaruh terhadap Gerakan Salafi Modern ini –di samping Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab tentu saja- antara lain adalah:
1. Ulama-ulama Saudi Arabia secara umum.
2. Syekh Muhammad Nashir al-Din al-Albany di Yordania (w. 2001)
3. Syekh Rabi al-Madkhaly di Madinah
4. Syekh Muqbil al-Wadi’iy di Yaman (w. 2002).
Tentu ada tokoh-tokoh lain selain ketiganya, namun ketiga tokoh ini dapat dikatakan sebagai sumber inspirasi utama gerakan ini. Dan jika dikerucutkan lebih jauh, maka tokoh kedua dan ketiga secara lebih khusus banyak berperan dalam pembentukan karakter gerakan ini di Indonesia. Ide-ide yang berkembang di kalangan Salafi modern tidak jauh berputar dari arahan, ajaran dan fatwa kedua tokoh tersebut; Syekh Rabi’ al-Madkhaly dan Syekh Muqbil al-Wadi’iy. Kedua tokoh inilah yang kemudian memberikan pengaruh besar terhadap munculnya gerakan Salafi ekstrem, atau –meminjam istilah Abu Abdirrahman al-Thalibi- gerakan Salafi Yamani.
Perbedaan pandangan antara pelaku gerakan Salafi modern setidaknya mulai mengerucut sejak terjadinya Perang Teluk yang melibatkan Amerika dan Irak yang dianggap telah melakukan invasi ke Kuwait. Secara khusus lagi ketika Saudi Arabia “mengundang” pasukan Amerika Serikat untuk membuka pangkalan militernya di sana. Saat itu, para ulama dan du’at di Saudi –secara umum- kemudian berbeda pandangan: antara yang pro dengan kebijakan itu dan yang kontra.Sampai sejauh ini sebenarnya tidak ada masalah, karena mereka umumnya masih menganggap itu sebagai masalah ijtihadiyah yang memungkinkan terjadinya perbedaan tersebut. Namun berdasarkan informasi yang penulis dapatkan nampaknya ada pihak yang ingin mengail di air keruh dengan “membesar-besarkan” masalah ini. Secara khusus, beberapa sumber menyebutkan bahwa pihak Menteri Dalam Negeri Saudi Arabia saat itu–yang selama ini dikenal sebagai pejabat yang tidak terlalu suka dengan gerakan dakwah yang ada- mempunyai andil dalam hal ini. Upaya inti yang dilakukan kemudian adalah mendiskreditkan mereka yang kontra sebagai khawarij, quthbiy (penganut paham Sayyid Quthb), sururi (penganut paham Muhammad Surur ibn Zain al-‘Abidin), dan yang semacamnya.
C. Pernyataan Kebangsaan NU dan Muhammadiyah
Penegasan NU dan Muhammadiyah sebagai Ormas Islam Kebangsaan dapat kita lihat dalam pernyataan Ketua masing-masing ormas yang lahir pada awal abad 20 ini.
Hasyim Muzadi (NU)
Pada pembukaan temu wicara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Pengkajian Konstitusi di Jakarta, Jum’at 23 Februari 2007, Ketua PB NU Hasyim Muzadi menyatakan, “NU menggunakan pendekatan substansial inklusif ketika berhubungan dengan negara. Bagi NU, UUD 45 itu sarat makna agama meski tidak ada stempel agamanya. Namun, saat diberi stempel Islam, agama lain akan marah. NU memiliki dua dimensi. Pertama, sesuai AD/ART, NU melakukan syari’at Islam dalam lingkup umat Islam. Kedua, untuk Indonesia, NU tak memaksakan syari’at. Tetapi membangun hukum nasional yang diilhami nilai agama. Bagi NU, Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler.” (Kompas, 26 Februari 2007).
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi, menyatakan, syariat Islam tak perlu diberlakukan di tingkat negara, namun cukup diamalkan oleh orang Islam.
“Pada level masyarakat, silakan syariat dilaksanakan. Nonsense beragama tanpa menjalankan syariat. Tapi syariat tidak perlu diberlakukan di level negara,” kata Hasyim dalam Dialog Islam dan Negara, di Jakarta,Kamis(26/07)kemarin.
Di dalam negara bangsa yang beragam seperti Indonesia, kata Hasyim, pemaksaan penerapan syariat Islam di tingkat negara justru akan menimbulkan persoalan yang bisa memecah keutuhan negara.
Mengenai konsep totalitas Islam (kaffah) yang menjadi jargon kelompok Islam tertentu, Hasyim berpendapat totalitas dalam menjalankan ajaran Islam itu harus dilekatkan pada individu, bukan institusi.
“Jadi, menurut saya, konsep kaffah itu cukup menyentuh orangnya, tidak perlu institusi, apalagi distempelkan pada negara,” kata Hasyim yang menolak hadir pada Konferensi Khilafah Internasional yang akan digelar Hizbut Tahrir Indonesia di Jakarta, 12 Agustus mendatang.
C. Yunahar Ilyas (Muhammadiyah)
Salah satu Ketua PP Muhammadiyah, Yunahar Ilyas, menyatakan bentuk negara republik yang dianut Indonesia sudah tepat dan tidak perlu dipersoalkan.
“Secara normatif, bentuk terdekat negara yang diinginkan Islam itu republik, bukan kerajaan. Sekarang tinggal bagaimana mengisinya,” katanya.
Karena itu, tambah Yunahar, fokus gerakan Muhammadiyah bukanlah mewujudkan negara Islam, melainkan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. “Jadi lebih pada masyarakatnya, bukan negara” .
D. Pola Perjuangan HTI, PKS (IM) dan Salafi
Ketiga kelompok ini sama-sama ingin menerapkan formalisasi syariat Islam. Hanya bedanya, kalau Salafy cenderung ke peribadatan, atau dalam bahasa lain mengislamkan orang Islam, karena dianggap belum Islam. Hizbut Tahrir,artinya, partai pembebasan. Maksudnya, pembebasan kaum muslimin dari cengkraman Barat dengan ideologi khilafah Islamiyah. IM masih agak moderat karena masih mau menerima negara nasional. Tapi substansi perjuangan formalisasi syariat sama dengan Hizbut Tahrir atau Salafy. Hizbut Tahrir katemu dengan Salafy dan Ikhwanul Muslimin dalam soal formalisasi syariat. Tapi dari segi sistem khilafahnya tidak ketemu.
E. Persinggungan antara Dua Kubu
Kehadiran IM, HTI dan Salafi dalam percaturan dinamika Islam di Indonesia telah menjadi fenomena yang menarik. Sebagai kelompok baru, mereka sangat intens untuk berdakwah, merekrut kader-kader baru. Hal ini sangat dirasakan di kampus-kampus (target potensial mereka adalah mahasiswa dan dosen). Setelah golongan kampus dipegang, masing-masing kelompok meneruskan penjaringannya ke lingkup yang lebih besar, masyarakat Islam pada umumnya dengan focus tempat-tempat kegiatan umat (sekolah dan masjid). Ketika memasuki arena dakwah di masyarakat, maka kelompok-kelompok ini berhadapan dengan organisasi Islam lain yang telah lebih dulu eksis, seperti NU dan Muhammadiyah. P
erebutan pengaruh antara, pencarian kader baru di kubu HTI, PKS (Salafi agak selamat dalam “konflik” ini karena lebih cendrung berjalan otonomi dan sikap alergi dengan organisasi), dan usaha menjaga keterikatan “warga”, bagi NU dan Muhammadiyah telah mencapai tahap konflik.
Ahad 27 Mei 2007, pengurus takmir dan pengurus ranting NU se-Majelis Wakil Cabang (MWC), kepengurusan NU di tingkat kecamatan kota Banyuwangi menggelar sebuah “hajatan” penting. Acara warga Nahdliyyin tersebut dimulai pukul 08.00 hingga 14.30 WIB. Urun rembug warga NU tersebut menghasilkan lima keputusan. Pertama, seluruh warga NU se MWC diminta untuk melaksanakan instruksi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk memberdayakan dan membentengi masjid NU dari ideologi di luar NU. Kedua, seluruh warga NU diminta untuk kembali intens mengkaji ideologi Ahlussunnah Wal Jamaah (Asawaja), pegangan yang dianut NU sejak berdiri hingga saat ini. Ketiga, membahas tentang perlu tidaknya memberikan sertifikasi bagi seluruh masjid yang selama ini dipegang warga NU. Keempat, membahas tentang pentingnya membuat teknik ideal khutbah. Ini sebagai jawaban dari alasan generasi muda NU yang malas ke masjid karena bosan mendengar khutbah yang berulang-ulang. Karenanya, pertemuan itu mengharapkan para khatib agar membuat bahan ceramah yang menarik dan tidak membosankan. Kelima, terkait dengan kebersihan dan kesehatan di masjid-masjid NU.
Secara keseluruhan, kepengurusan NU di Banyuwangi memiliki 24 cabang MWC. Pertemuan pengurus dan takmir masjid NU di Masjid Baiturrahman, Ahad 27 Mei 2007 lalu adalah pertemuan yang ke-14. Rencananya, mereka masih akan menggelar pertemuan serupa di 10 cabang MWC yang tersisa. “Dari 24 MWC sudah berjalan di 14 MWC. Acaranya, berpindah-pindah, tiap Sabtu dan Ahad,” kata Ketua Tanfidziyah PCNU Banyuwangi KH Masykur Ali.
Langkah “memberdayakan dan membentengi masjid NU dari ideologi di luar NU” di atas tak terjadi dengan sendirinya. Ormas terbesar di Indonesia itu merasa gerah dengan kiprah yang dilakukan sejumlah gerakan Islam, seperti Jamaah Tabligh (JT), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan gerakan Islam lainnya.Mereka menuding sejumlah gerakan Islam tersebut melakukan “pengambilalihan” masjid di sejumlah kantong NU, seperti di Banyuwangi, Sidoarjo, Pasuruan dan sejumlah daerah lainnya. Ada tiga masjid milik warga Nahdliyyin di Banyuwangi, Jawa Timur; masing-masing di Purwoharjo, Genteng dan Ketapang, yang diklaim telah diambilalih berbagai gerakan Islam tersebut.
Bentuk “pengambilalihan” bermacam-macam. Pertama, melalui administrasi formal. Setelah dipercaya menjadi pengurus atau panitia masjid, dicari-cari apa “kekurangan” atau yang belum dilakukan masjid tersebut, seperti sertifikat dan lainnya. Langkah berikutnya setelah mengetahui “kelemahan” administrasi masjid tersebut, mereka berusaha membantu dengan mendapatkan dan mengurus sertifikatnya. Mereka akan mengeluarkan biaya pengurusan, baik separuh atau keseluruhannya. Kedua, mereka menyampaikan nilai-nilai Islam ala gerakan mereka, bahkan mempermasalahkan rituil ibadah yang selama ini dilakukan warga Nahdliyyin, seperti tarawih, qunut, tahlil, shalawat dengan menggunakan kata sayyidina dan lainnya. Penasihat Cabang Takmir Masjid Indonesia (LTMI) NU Muhdor Atim menyatakan,”Ketika mereka mengedepankan institusi dan praktik-praktik ubudiyah, masalahnya menjadi lain. Karena itu, di masjid saya buang tas mereka. Karena mereka tak menggunakan etika. Menganggap diri paling benar, kemudian masuk atas nama ingin meramaikan masjid”.
Sementara Muhammadiyah juga terlibat konflik dengan kelompok Islam baru ini. Secara resmi ormas ini sudah mengeluarkan surat peringatan keras. Melalui SK 149, 1 Desember 2006, Pengurus Pusat Muhammadiyah secara khusus mengingatkan kadernya agar waspada terhadap upaya “infiltrasi” dari pihak luar.
“Secara khusus anggota dan lini organisasi Persyarikatan termasuk di lingkungan amal usaha Muhammadiyah harus bebas dari pengaruh misi, infiltrasi, dan kepentingan partai politik yang selama ini mengusung misi dakwah atau partai politik bersayap dakwah”. Keluarnya SK 149 itu tidak bisa dilepaskan dari gesekan yang terjadi di gross root. Dalam buku Ikhwanul Muhammadiyah, Benturan Ideologi dan kaderisasi dalam Muhammadiyah, dikisahkan kasus pengunduran diri oleh belasan anggota Pimpinan Cabang Nasyi’atul ‘Asyiyah di suatu tempat karena terlibat di dalam PKS. Bahkan pernah ada kegiatan PKS yang dibubarkan sekelompok pemuda yang tergabung dalam Angkatan Muda Muhammadiyah, sebab kegiatan tersebut digunakan untuk kegiatan “partai politik” tertentu.
F. Akar Persoalan
Pertanyaan manarik yang bisa kita ajukan adalah mengapa sesama organisasi Islam, yang sama-sama berjuang untuk kejayaan dan kemuliaan Islam saling berjibaku dan terlibat dalam arena konflik. Menurut penulis, hal ini terjadi karena perbedaan tafsir agama dan perbedaan kepentingan.
G. Umat Islam, Bersatulah!
Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya kaum Mukmin itu bersaudara. Karena itu, damaikanlah saudara-saudara kalian dan bertakwalah kalian kepada Allah agar kalian dirahmati. (QS al-Hujurat [49]: 10).
Al-Qurthubi di dalam buku tafsirnya menyebutkan bahwa persaudaraan antar kaum Mukmin adalah dalam hal agama dan kehormatan, bukan dalam nasab. Persaudaraan dalam agama lebih kokoh dibandingkan dengan persaudaraan nasab. Sebab, persaudaraan nasab dapat terputus dengan perbedaan agama, sedangkan persaudaraan dalam agama tidak pernah terputus dengan perbedaan nasab. Namun, sayang, sikap dan perasaan ini tidak sepenuhnya diaplikasikan oleh kebanyakan kaum Muslim saat ini.Lebih jauh, Allah SWT berfirman:
“Berpeganglah kalian pada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai-berai.” (QS Ali Imran [3]:103).
Tegas sekali, ayat ini memerintahkan kaum Mukmin untuk bersatu atas dasar Islam dan untuk menegakkan Islam, dengan menjadikan syariah sebagai tolok ukurnya; bukan bersatu demi kelompok, partai, figur, ataupun fanatisme masing-masing. Sebab, al-Quran sebagai tali kemenangan memang diturunkan Allah SWT sebagai metode kehidupan untuk membangkitkan umat dari kelemahan, kehinaan, keterbelakangan, dan keterpecahbelahan saat ini.
Jelaslah bahwa Islam merupakan penyatu kaum Muslim. Sebaliknya, semangat golongan, kesukuan dan kebangsaan adalah semangat Jahiliah yang tidak layak dijadikan penyatu kaum Muslim. Apalagi hal itu dilakukan untuk berseteru dengan sesama Muslim. Untuk itu, setiap Muslim harus segera meninggalkan segala bentuk pemikiran dan ikatan kufur dan beralih pada ikatan Islam. Dengan demikian, setiap upaya untuk menjadikan sesama Muslim saling berhadapan dalam bentrokan fisik wajib dihancurkan.